Tulisan mbeling ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya. Bedanya, ini bagian ke-2. Ya, saya harus menuliskannya lagi karena sudah ada pengakuan versi SS, juga “tulisan Terbuka” dari putrinya SS, “Surat Pernyataan Sikap” dari BEM FIB UI, dan berita lainnya, semisal http://www.koridortimur.com/para-pembela-pelaku-pemerkosaan/.
Pada tulisan I saya membuat kesimpulan, “Saya tidak akan menyimpulkan apa-apa. Yang mengetahui soal itu secara pasti adalah SS dan RW itu berdua. Kalau kemudian muncul versi SS, ditimpali dengan versi RW, kebenarannya pun hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Hal yang biasa terjadi adalah apabila terjadi kontroversi .” Itu pun karena dari berita hari I (29/11/2013), dimana berasal dari laporan RW kepada polisi.
Lantas, bagaimana kalau benar bahwa berita sebenarnya merupakan sebuah kasus perkosaan/pemerkosaan, dan pelakunya adalah SS?
Bukannya “kalau benar”. Ini sudah benar, bahwa kasus tersebut merupakan perkosaan/pemerkosaan, dan perbuatan tidak menyenangkan. Pelakunya SS. Sudah jelas, tidaklah perlu dijelas-jelaskan lagi, atau malah dimentahkan lagi.
Pemerkosaan dan Pemerkosa
Saya, dengan adanya “Surat Pernyataan Sikap” dari BEM FIB UI dan sejenisnya, tidak perlu ragu bertanya-tanya sendiri seperti tulisan I. Melalui tulisan II ini saya sudah mendapatkan jawabannya : Kasus SS-RW adalah pemerkosaan, dan SS adalah pelaku pemerkosaan itu.
Pemerkosaan adalah sebuah kejahatan mutlak. Dan pemerkosa adalah penjahat. Titik.
Apa pasalnya dan nomor berapakah untuk tindakan pemerkosaan, dan apa sanksinya secara legal-formal berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)? Saya bukanlah seorang sarjana Hukum tetapi mengenai pasalnya, saya ‘terpaksa’ mencarinya di mesin pencari Google.
Kalau tidak salah, soal pemerkosaan terdapat dalam pasal 285 KUHP. Bunyinya, “Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Laporan sudah masuk jalur hukum, itu berarti tinggal menunggu waktu untuk vonis atas tindak pidana perkosaan, dan pelakunya adalah SS. Saya tidak perlu sok mengamati apalagi menghakimi. Tulisan mbeling pada bagian ini tidak perlu saya panjang-lebar-tinggikan lagi.
Tidak berbeda jauh ketika saya menolak simpati kepada koruptor dan keluarga/kawan-kawan pendukung koruptor, di sini juga saya menolak bersimpati.
Hukum Formal dan Dampak Non Formal
Secara formal, sudah tercantum tindak pidana tersebut. Namun, segala segi formalitas, tidaklah lantas menuntaskan dampak non-formal (psikologi) yang dialami oleh korban pasca musibah kejahatan tersebut.
Masalah dampak non-formal ini, lagi-lagi, bukanlah wewenang saya. Saya tidak akan menjerumuskan pikiran mbeling saya ke ranah yang tidak saya pahami dan alami sendiri (mbeling itu ada batasnya?).
Apakah Menikah bisa menjadi Solusi?
SS mengatakan bahwa ia siap bertanggung jawab. Entahkah dengan menikahi RW, ataukah hanya sebatas menafkahi RW dan janin. Saya tidak berani gegabah menulis soal pernikahan akibat pemerkosaan bahkan kehamilan (Married By Accident) seperti kasus SS itu. Di lingkungan sekitar saya tidak (belum?) pernah terjadi “pemerkosaan, kehamilan, teror, tindak pidana, ramai diberitakan, barulah menikah”.
Menurut saya, pemerkosaan berlandaskan nafsu, bukan cinta. Memang, cinta tanpa nafsu, tidaklah tepat jika hendak diikatkan dalam sebuah pernikahan alias gerbang menuju halaman rumah tangga yang berisi keturunan. Tetapi, kalau diawali dengan pemerkosaan, yang notabene pemaksaan kehendak, pasca pernikahan kedua pihak berpotensi mengalami hubungan yang riskan.
Riskannya lagi, ditambah dengan kehamilan. Dua kali keduanya menjalani hal yang tidak didasari oleh kesadaran yang sejati. Terpaksa ditambah terpaksa. Pernikahan dijalani dengan keterpaksaan kuadrat. Saya tidak bisa membayangkannya.
Adanya teror terhadap RW merupakan ancaman psikologis yang serius, meski entah apa detail terornya. Malu dan takut (ancaman/teror) yang dialami oleh RW cenderung semakin meriskankan suatu hubungan. Membayangkan ini pun perasaan saya seperti sedang ‘diteror’ oleh prasangka sendiri.
Semakin tidak bisa saya bayangkan, ketika sudah masuk dalam lingkup hukum formal. Ini berpotensi sebagai keterpaksaan pangkat 3. Ada bayang-bayang palu hakim, meja hijau, jeruji besi, biaya perkara, dan sejenis itu dalam hubungan pernikahan. Sungguh tidak nyaman menjalani hal semacam itu.
Ditumpuk dengan “ramai diberitakan”, “ramai gosip-polemik”, “ramai hujat-simpati”, dan “tersiar seantero jagad. Di lingkup mikro, yaitu keluarga kedua belah pihak serta orang-orang terdekat, pastilah pro-kontra menjadi bagian dalam pergaulan. Di lingkup medio, tentu lebih ramai lagi polemiknya karena, biasanya, orang-orang di luar paling getol berpro-kontra.
Lha, bagaimana di lingkup makro, yang lebih luas jangkauan beritanya? Berita I (29/11/2013) saja sudah penuh polemik. Dan, bukan mustahil, polemik antarorang luar tidak kalah sengitnya, meski mereka sendiri tidak mengalami. Bisa atas dasar solidaritas perempuan, korban, kawan, komunitas, dan seterusnya.
Ketika “pemerkosaan, kehamilan, teror, tindak pidana, ramai diberitakan, dan menikah” bergabung menjadi satu, sudah pasti tidak bisa saya bayangkan “bagaimana selanjutnya”.
Kesimpulan Saya
Pertama, murni kasus pemerkosaan. Kedua, pelakunya adalah SS, dan korbannya adalah RW.
*******
Balikpapan, 01 Desember 2013

0 komentar:
Posting Komentar