promosi bisnis online gratis

Budaya Daerah, Nasional, dan Global; Di mana Kita?



Pada awal masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, menerapkan sebuah kebijakan pro budaya Betawi. Yakni, setiap Rabu, seluruh pegawai Pemerintah Daerah DKI wajib memakai pakaian adat Betawi. Jokowi pula yang telah menerapkan aturan serupa saat menjabat walikota Solo dengan mewajibkan para PNS di instansi pemerintahannya berpakaian adat Jawa setiap Kamis.


Pun, dengan dalih melestarikan budaya, sudah berkali-kali disajikan kontes pemilihan Abang-None Jakarta. Pagelaran itu disiarkan televisi nasional. Syukurlah, warga Jawa Tengah mempunyai pemilihan Denok-Kenang. Tujuan keduanya sama: melestarikan budaya daerah. Saban tahun pula, kita disuguhi pemilihan Putri Indonesia. Putri yang terpilih wajib tahu tetek-bengek ragam wisata Indonesia yang bakal dipromosikan. Terakhir, di tingkat global, ada ajang Miss Universe. Keragaman kultural dari putri-putri seluruh negara dikonteskan.


Persoalannya, ketika ada pagelaran pemilihan ratu sejagad itu, wakil Indonesia harus menampilkan kultur mana? Menyajikan budaya adat Jawa –seandainya pemenangnya dari Jawa Tengah- atau identitas Indonesia (?) -yang berarti tidak mempromosikan adat Bali. Pada akhirnya, putri Indonesia itu “dipaksa” beretika global yang artinya meluluhkan keragaman adat negara sendiri. “Etika global” itu adalah dengan mengikuti sesi penjurian berbusana renang.


Melestarikan budaya merambah pada masalah bahasa pula. Banyak orang tua bilang, “Wong Jawa saiki wis ilang Jawane. Termasuk tata krama berbahasa ketika berkomunikasi. Krama inggil sudah dilupa. Pemakaian bahasa Jawa dirasa sudah tak sesuai zaman. Apa penyebabnya? Cikal bakal kemuduran berbahasa Jawa ada di sekolah. Banyak kalangan pendidik mendesak agar kurikulum 2013 mengakomodasi muatan lokal itu menjadi mata pelajaran (matpel) sendiri. Sayangnya, kurikulum itu memasukkan pelajaran bahasa daerah dalam matpel Seni dan Budaya.


Kalau di ranah pendidikan sudah mentok, pemkab-pemkab di Jawa Tengah perlu belajar pada Pemkab Banjarnegara. Melalui Keputusan Bupati Nomor 434/176 Tahun 2013, Pemkab Banjarnegara menetapkan tentang penggunaan bahasa Jawa di lingkungannya. Yakni, ditetapkan bahwa setiap Kamis, seluruh PNS di jajaran Pemkab, wajib berbahasa Jawa. Peran media massa juga sangat penting. Kita patut bersyukur atas usaha beberapa media massa di Jawa Tengah yang telah melestarikan budaya Jawa dengan menyajikan rubrik berbahasa Jawa.


Indonesia bukan Jawa semata. Penggunaan bahasa Indonesia dengan dalih pelestarian kesatuan harus diutamakan. Saban 28 Oktober terus dikumandangkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Oleh karena itu, pengarusutamaan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah harga mati.


Melestarikan bahasa Jawa juga terbentur dengan laju globalisasi. Mau tidak mau, di sekolah-sekolah secara sadar diterapkan matpel bahasa Inggris. Sampai-sampai bahasa Inggris masuk materi Ujian Nasional (UN). Jika melihat perkembangan mutakhir atas gempuran kebudayaan global, bahasa Indonesia juga bernasib sama dengan bahasa Jawa. Persyaratan fasih berbahasa Inggris menjadi tolok-ukur rekrutmen hampir di segala bidang pekerjaan. Maka, menjamurlah banyak kursusan bahasa Inggris. Ironisnya, beberapa tahun silam, hasil UN matpel bahasa Indonesia menempati posisi tragis. Banyak siswa tidak lulus justru dari matpel yang semestinya menjadi pelajaran “termudah” itu.


Tak cuma tuntutan fasih berbahasa Inggris. Jika ingin melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar, misalnya, maka dituntut menguasai bahasa asing lainnya: bahasa Arab. Jadi, jika Anda adalah orang Indonesia yang lahir di Jawa Tengah dan hendak melanjutkan studi ke Timur Tengah, maka perlu menguasai empat bahasa.


Tapi, bukan permasalahan penguasaan seberapa banyak bahasa yang menjadi tinjauan kritis krisis berbahasa daerah seperti sekarang. Melainkan aspek pengamalan dengan patokan kontekstualitas (dalam keadaan apa kita sebaiknya berbahasa daerah, nasional, dan internasional).


Dilema ketika dihadapkan pada zaman yang menuntut rasa nasionalisme, dan pada akhirnya membuang lalu mengganti dengan globalisme. Simbol-simbol kedaerahan kerap berujung pada sisi dilematis karena selain dianggap penjaga identitas kedaerahan namun tetap dicap sebagai neo-primordialisme. Tidak nasionalis.


Memecahkan kedilematisan itu kiranya dengan menggunakan “skala perimbangan”. Kita kenyang berbahasa Indonesia dan bercasciscus berbahasa Inggris. Namun, secara langsung berefek hanya menyisihkan sekian persen saja berbahasa Jawa.


Kita sebenarnya tahu kapan harus berbahasa Jawa, berbahasa Indonesia, dan berbahasa asing. Oleh karena itu, langkah Jokowi dan Pemkab Banjarnegara seperti di atas tak lain hanya untuk menyeimbangkan kebudayaan daerah yang dirasa sudah dalam tahap sekarat ketika terbukti terkapar saat berhadapan dengan identitas nasionalisme dan globalisme.


Bukan mempertarungkan di antara ketiganya. Namun, hanya menempatkannya pada posisi dan porsi yang tepat. Sayangnya, penyakit disoreintasi budaya alias gegar budaya-lah yang mengakibatkan kebingungan atau kehilangan identitas yang menghasilkan gugatan reflektif: di mana/siapa kita sesungguhnya.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/05/budaya-daerah-nasional-dan-global-di-mana-kita-615989.html

Budaya Daerah, Nasional, dan Global; Di mana Kita? | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar