Wacana yang ditetaskan Anas Urbaningrum agar Susilo Bambang Yudhono mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden pada Pemilu 2014 bukanlah hal baru di Indonesia. Praktek dimaksud bukan pula sebuah preseden. Melainkan sebuah dinamika yang normal, tidak aneh, sekaligus biasa ditemukan dalam catatan sejarah bangsa Indonesia.
Pada tahun 2012, Drs.H.Zain Alkim, mantan Bupati Barito Timur selama 2 periode kembali mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Barito Timur, meskipun harus mengalami kekalahan dari pasangan calon bupati Ampera AY.Mebas dan H.Suriyansyah.
Dimasa lalu, para raja-raja tanah air diantaranya Sri Sultan Hamengkubuwono pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Padahal sebelumnya, wilayah kesultanan Mataram yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono meliputi tanah Jawa dan sekitarnya yang kemudian berintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaannya, apakah Sri Sultan Hamengkuwono merasa turun pangkat?atau status sosialnya lebih rendah dari keadaan sebelumnya? Demikian pula dengan tokoh-tokoh pemuda Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Ada Syahrir, Amir Syarifuddin, Muhammad Hatta, Juanda, dan masih banyak lagi pernah menjabat sebagai Perdana Menteri . Hingga saatnya pemerintahan Kabinet mereka berakhir, mereka tak berhenti berjuang dan kembali ketengah-tengah rakyat, baik sebagai Ketua Partai maupun bergerilya kehutan-hutan. Bagaimanapun, kalimat Persatuan dan Kesatuan bangsa merupakan kata kunci sekaligus jimat yang melekat dimanapun mereka melangkahkan kaki. Adakah mereka memperdebatkan status sosial mereka?
Lantas, adakah yang salah dari wacana Anas Urbaningrum. Tidak ada yang salah. Tetapi, Anas Urbaningrum tidak memberikan contoh politik yang santun dalam dinamika politik Indonesia. Anas Urbaningrum menyampaikan wacana tersebut melalui akun twitter. Tampak main-main, seakan melempar bulu ke udara, dan mengundang gelak tawa juga candaan dari oposan Susilo Bambang Yudhoyono. Akan lebih elok dan dewasa manakala wacana demikian disampaikan dalam sebuah tulisan, diskusi budaya yang diadakan oleh PPI maupun jumpa pers sehingga publik menangkap maksud Anas Urbaningrum sebagai hasil pemikiran yang sungguh-sungguh datang dari penghayatan pengetahuan yang dimilikinya.
Mencermati sepak terjang Anas Urbaningrum yang dikenal menyukai cerita wayang, bentuk komunikasinya juga tak jauh berbeda dengan cerita-cerita yang hadir dalam dunia pewayangan. Anas Urbaingrum begitu tekun mempraktekkan filsafat kematian Gatot Kaca untuk memperbesar tubuhnya dan meningkatkan kekuatannya ketika hari sudah gelap. Semakin gelap semakin besar dan kuat tubuh Gatot Kaca. Saran yang diwacanakan Anas, tidak hanya berakhir pada figure Susilo Bambang Yudhoyono. Saran semacam itu lebih mendekati tuah sebilah keris pusaka. Sebuah tuah yang juga memaksudkan serangannya pada figure-figur tokoh politik Indonesia seperti Megawati keturunan Soekarno, Abu Rizal Bakeri, Prabowo mantan Danjen Kopassus, Surya Paloh bos Media Group, Wiranto mantan Menhankam/Pangab. Bersediakah tokoh-tokoh ini menjadi wakil dari figure yang saat ini begitu di idolakan publik, yaitu Joko Widodo. Tetapi Anas Urbaingrum bukanlah perwira semacam Gatot Kaca. Bukan pula panglima sekaliber Arjuna. Sebab Anas Urbaningrum gagal menjawab pertanyaan gurunya, yaitu resi Durna. “Adakah kau melihat burung dan gunung dipohon itu? Arjuna menjawab tidak ada kecuali sebiji buah yang menjadi sasarannya. Sebaliknya Anas Urbaningrum banyak menjelaskan semua isi hutan yang dilihatnya. Ada gunung, menjangan yang lewat, awan yang bergerak hingga kebobrokan Partai Demokrat dalam kasus Hambalang dan kasus lainnya apabila ada. Dia juga bukan orang bermental raja seperti Basukarna. Anas Urbaingrum adalah kacang yang lupa pada kulitnya. Anas Urbaningrum adalah reinkarnasi Prabu Sisupala yang setelah berkali-kali menghina Krishna hingga hitungan keseratus, mengalami nasib sial diterjang Cakra Sudarsana. Apakah Anas Urbaingrum berkepribadian Pahlawan. Sepertinya jauh panggang dari api. Kepahlawanan Anas Urbaningrum barangkali lebih mendekati karakter Kumbakarna. Dia hanya akan marah ketika bangun dari tidurnya tidak menemui makanan. Tapi Kumbakarna masih lebih mulia dari Anas Urbaningrum. Kumbakarna walaupun sengaja ditidurkan oleh Rahwana, disaat genting bela pati hingga menemui ajal oleh Prabu Rama. Dimata penulis, kehormatan Anas Urbanigrum masih kalah jauh dibandingkan Andi Malarangeng.

0 komentar:
Posting Komentar