Ada banyak definisi mengenai apa yang dimaksud dengan opini publik diantaranya dikatakan bahwa opini publik adalah unsur-unsur dari pandangan, perspektif dan tanggapan masyarakat mengenai suatu kejadian, keadaan, dan desas-desus tentang peristiwa-peristiwa tertentu.
Sedangkan komunikasi politik dapat didefinisikan sebagai pencapaian suatu pengaruh yang sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas dalam kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditemukan bersama oleh lembaga politik (Astrid Susanto).
Dari kedua definisi tersebut di atas dapat kiranya kita menyimpulkan bahwa untuk mencapai suatu pengaruh yang dapat mengikat semua warganya haruslah melalui keinginan masyarakat itu sendiri dan hal itu dapat dilihat dari opini pubik yang berkembang.
Namun demikian apakah opini publik sudah direalisasikan dalam perpolitikan kita, adakalanya kita melihat semua itu pada masa orde baru, adakah ruang publik sebagai bentuk kedaulatan rakyat secara totaliter. Di dalam rezim Soeharto, negara mengintervensi pembentukan opini publik, menstigma para oposan, dan merintangi pembentukan spontan kelompok-kelompok politis.
Memang benar membatasi ruang publik dan mengawasi media massa secara ketat adalah demi pemeliharaan stabilitas nasional, karena walau bagaimanapun ketika komunikator dalam infra struktur lebih dominan daripada komunikator suprastruktur maka mobilisasi massa dan provokasi akan semakin merajalela.
Tetapi apabila ruang komunikator supra struktur (The Governmental Communication sphere) lebih dominan dari komunikator infra struktur, maka yang terjadi adalah komunikasi secara totalitas oleh penguasa.
Betul juga dapat dikatakan pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa negara sudah diperlengkapi dengan DPR/MPR untuk kanalisasi aspirasi publik sehingga tidak perlu adanya institusi-institusi lain untuk menyampaikan aspirasi rakyat.
Meskipun demikian lembaga perwakilan rakyat ini berada di bawah dominasi eksekutif. Misalnya saja dalam pembuatan Undang-undang. Di Indonesia, kekuasaan membentuk Undang-undang berada pada kekuasaan eksekutif (Presiden), hal ini berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUD 45, bahwa presiden diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar untuk melakukan fungsi legislative.
Ada yang mungkin menganggap, tidak ada ruang publik sebagai ruang bebas kuasa. Sebaliknya, ruang publik politis justru merupakan jaringan kekuasaan yang sangat kompleks karena setiap bentuk perhimpunan dalam masyarakat kita membentuk ruang publiknya sendiri yang ingin mendesakkan kebutuhannya.
Tetapi kalau demikian, kedidupan demokratis dalam pluralitas hanya akan menjadi cita-cita bangsa ini, kehidupan demokratis menuju keseimbangan tidak dapat direalisasikan.
Penulis akui dominasi komunikator supra struktur pada masa Orde Baru juga tidak akan lama, terbukti rakyat tidak segan-segan menarik kembali legitimitas pemerintahan Soeharto lewat gerakan reformasi. Reformasi tak lain dari membangun jaringan yang menyambungkan sistem politik dengan sumber legitimitasnya rakyat.
Maka dari itu dominasi antar sistem tidak lain adalah menuju keseimbangan, adanya reformasi adalah karena adanya kekuasaan mutlak pada pemerintahan orde baru, begitu pula adanya pemerintahan orde baru, karena merupakan singkronisasi dari pemerintahan orde lama.

0 komentar:
Posting Komentar