Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan bernegara era Soeharto bagi sebagian kalangan terutama kalangan “akar rumput” memang “lebih baik” daripada beberapa saat terakhir ini. Apalagi bila diukur dari kehidupan sosial ekonomi yang memang sangat berbeda pada saat itu dan saat sekarang. Mulai dari pekerjaan,perdagangan, pertanian dan lain sebagainya. Pada era Soeharto, sebagai presiden pada waktu itu sangat mengerti kekuatan negara ini ada pada sektor agraris, sehingga pada saat itu Indonesia bahkan menjadi “macan asia” dan bisa mendapatkan prestasi luar biasa surplus beras hingga diekspor ke beberapa negara tetangga. Namun saat ini kita justru harus impor beras dari Thailand.
Namun, semua ada plus minus dalam kepemimpinan beliau. Salah satunya tentang adanya beberapa kasus yang sampai saat ini mungkin belum diungkap dan diadili atau bahkan mungkin tidak akan diungkap dan tidak bisa diadili. Dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi nasional, ada sesi diskusi yang mempertemukan antara seorang aktivis anti Soeharto dan seorang politikus yang notabene “membela” Soeharto. Dan diakhir acara diketahui bahwa ternyata dulu mereka sama-sama aktivis Anti Soeharto.
Sebuah fakta yang menarik, bahwa seseorang yang dulu “anti” Soeharto sekarang simpati Soeharto. Apapun alasan beliau berpindah haluan, tapi istilah “tak kenal maka tak sayang” itu memang ada benarnya. Sang Aktivis Anti Soeharto tidak akan pernah memaafkan sosok mantan presiden Indonesia itu karena ada dendam kesumat dalam hatinya sehingga yang teringat hanya kesalahan-kesalahan saja tanpa mempertimbangkan jasa-jasa yang telah beliau berikan untuk negara ini.
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, ada salah ada benar. begitu juga dengan Pak Harto, beliau mungkin bersalah dengan amat sangat besar pada masyarakat Indonesia, akan tetapi beliau juga yang membuat rawa-rawa itu menjadi kota, yang semula seseorang hanya mampu menanam singkong sampai akhirnya bisa menanam kelapa sawit. Karena adanya Transmigrasi, banyak masyarakat kalangan bawah yang kini merasakan kesejahteraan. Para transmigran selama dua tahun harus berada di “hutan belantara” diberi jatah makan selama itu, dapat tanah seluas dua hektar, mungkinkah seorang Soeharto merogoh koceknya sendiri untuk menghidupi ribuan transmigran yang ada. Dari sinilah salah satu alasan mengapa utang negara ini cukup banyak. Ini hanya contoh kecil keberhasilan pak Harto dan kesalahan beliau yang mungkin tidak akan termaafkan.
Yang perlu dilakukan bukanlah menyalahkan beliau saja, mampukah mereka-mereka yang “menjatuhkan” beliau membuat negara ini senyaman dulu, seaman dulu, dan sekompak dulu atau malah lebih baik, lebih aman lebih nyaman. itu yang diharapkan rakyat, bukan janji tapi bukti. Mari jadikan ini cambuk untuk kehidupan yang lebih baik, jadikan tolok ukur, minimal seperti dulu.

0 komentar:
Posting Komentar