promosi bisnis online gratis

Isbat Nikah dan Ketiadaan Pendidikan WNI


1386205496651868410


Untuk memberi layanan kepada warganya, KRI Tawau bekerjasama dengan pengadilan agama Jakarta Pusat menggelar sidang istbat nikah untuk para TKI yang berada di wilayah kerjanya di Sabah. Acara ini di selenggarakan selama 4 hari dari tanggal 3 sampai 6 desember 2013. Untuk sidang istbat tahun ini di ikuti oleh 795 pasang. Penulis dan 7 guru lain dipinta untuk membantu kegiatan ini; tentu bukan jadi hakimnya.


Inti acara ini adalah agar warga indonesia yang sudah menikah hanya secara agama mempunyai legalitas secara hukum negara. Tentu pengaruhnya bukan hanya untuk pasangan nikah itu, tapi ketiadaan dokumen berpengaruh terhadap keturunan mereka. Tanpa surat nikah, mereka tidak bisa mengakui anak biologisnya sebagai anak di mata hukum negara. Tanpa surat lahir dan dokumen-dokumen sebagai identitas diri mereka akan mendapat kesulitan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.


Tidak Sekolah = Inferior


Saat melakukan verifikasi data, penulis dihadapkan dengan sebuah fenomena yang membuat keindonesiaan diri tergugah. Betapa tidak, dari semua pasangan yang penulis verifikasi hampir setengahnya mengaku tidak pernah sekolah, sisanya pernah sekolah SD. Tidak bisa menulis, tidak bisa membaca dan tidak mampu menghitung adalah sebuah konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Bukan tentang tidak sekolahnya, tapi tentang penilaian tentang diri mereka.


Merasa rendah atau merendahkan diri saat rakyat bertemu pejabat di Indonesia mungkin sudah menjadi budaya, karena sistem birokrasinya menghendaki seperti itu. Demikian juga ketika mereka menghadap ke meja penulis. Mereka pikir saya seorang pejabat. Hehe. Sejauh itu tidak terlalu mengusik. Namun, hampir semua pasangan yang ditanya tentang tingkat pendidikannya mereka menjawab “tidak sekolah”, “hanya SD” atau “SD saja” setelah sebelumnya mengulum senyuman. Jelas sekali pemilihan kata dalam menjawab, senyuman, mimik muka dan bahasa tubuh mereka menandakan bahwa mereka malu. Mereka malu dihadapan penulis yang sebangsa dan senegara.


Penulis tidak pernah tahu bagaimana perasaan para pejabat pemerintahan dan para pemimpin negara ketika melihat fakta seperti ini. Ketika mereka malu mengakui ketiadaan pendidikannya, penulis sedih ternyata masih banyak saudara sebangsa dan setanah air dalam keadaan tuna. Penulis sedih melihat mereka inferior (merasa rendah diri) dihadapan penulis yang sebangsa, apalagi ketika berhadapan dengan bangsa lain. Apalagi saat berhadapan dengan para mister (red: atasan-atasan mereka di kebun sawit), saat berhadapan dengan para tuan mereka.


Penulis sedih ketika melihat mereka harus berjuang mendapatkan hak hidup yang layak dengan tangan mereka sendiri. Bukankah mereka punya hak mendapatkan pekerjaan, pendidikan, dan penghidupan yang layak dari Negara (pemerintah)? Bukankah pemerintah wajib turun tangan?



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/05/isbat-nikah-dan-ketiadaan-pendidikan-wni-613872.html

Isbat Nikah dan Ketiadaan Pendidikan WNI | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar