promosi bisnis online gratis

Kepingan Rupa-rupa Hikayat Berhaji


Cara berziarah ke Tanah Suci, Makkah, begitu beragam. Bukan melulu dikarena finansial. Tengok orang dengan deretan mobil serta rumah mewah, toh terasa begitu berat menjejakkan kaki ke sana. Sedangkan urusan berlibur ke negeri Paman Sam sudah dilakoni berkali-kali. Sementara bagi yang tergolong ekonomi menengah-bawah harus rajin menabung selama bertahun-tahun. Tapi, ritual haji terus mengabarkan ketekadan kaum papa yang mampu menjungkirbalik stigma “tak bakal mampu berhaji”.


Urusan finansial haji (ONH) dan tetek-bengeknya sering si miskin dijawab dengan menjual sawah atau hewan ternak. Bila dipikir dari logika ekonomi; mengapa sampai bersusah payah mati-matian berhaji dengan menjual harta-benda. Bukankah lebih baik bila sawah tetap menjadi tempat keberlangsungan hidup dan bisa diwariskan ke anak-cucu. Lalu bagaimana kelanjutan urusan dapur setelah pulang berhaji. Dengan penuh keyakinan, mereka kerap menjawab: (soal rezeki) urusan Tuhan kok saya yang mikir. Benar saja, tak ada warta sehabis berhaji mereka mati kelaparan.


Hikayat bisa berhaji terlalu banyak mengumbar lorong misteri dan ketakjuban. Jalan yang ditempuh beragam. Berikut sekelumit tiga cerita fakta yang penulis saksikan sendiri: pertama, seorang kakek tiba-tiba kedatangan tamu pria paruh baya. Ia membawa segepok uang. Dengan uang itu, si kakek diminta berhaji. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan terima kasih lantaran si kakek pernah mengajari pria paruh baya tersebut membaca Alquran.


Kedua, seorang kuli panggul pasar tradisional. Usianya sudah uzur. Tapi, semenjak muda ia bertekad menabung untuk berhaji dengan menyisihkan sebagian upahnya saban hari. Setelah bertahun-tahun menabung, ia akhirnya bisa berhaji. Ketiga, seorang wartawan yang berharap bisa berhaji melalui profesinya tersebut. Tapi sayang, selama delapan tahun, ia selalu ditempatkan di deks olahraga. Tak ada sedikitpun celah bisa berhaji. Alhasil, paling ia hanya meliput kejuaraan balapan di Malaysia. Namun, kabar bahagia akhirnya datang ketika ia diberi kesempatan mengikuti perekrutan wartawan peliput haji oleh Media Center Haji (MCH) Kemenag. Ia lolos dan bisa berhaji gratis.


Beberapa tahun silam, diwartakan bahwa Arab Saudi mewacanakan melarang Calon Jemaah Haji (CJH) lansia dengan batas maksimum berumur 65 tahun. Alasannya, haji adalah ibadah fisik. Lagi pula, konsep “mampu” sebagai persyaratan haji seharusnya tidak diartikan hanya mampu secara finansial semata. Tapi mampu secara fisik pula -yang tentunya sudah berkurang drastis tatkala memasuki usia senja. Bila wacana itu diterapkan, tentu akan dapat melonggarkan antrean haji secara signifikan. Tapi gagasan tersebut menuai polemik lantaran bersangkut soal hak asasi manusia dalam beribadah.


Selain itu, di antara sebab panjang antrean haji adalah haji dobel: sudah berhaji, berhaji lagi. Ada seabreg alasan pembenar yang kerap dilontarkan: mulai dari alasan menemani sang istri sekaligus untuk berbulan madu. Mendampingi orang tua karena khawatir bila berangkat sendiri rentan tersesat dan ditipu sampai beralibi telah menyimpan rasa rindu teramat berat terhadap Ka’bah. Walhasil, berhaji model demikian seperti hendak masuk surga sendirian. Kesalehan sosial terkubur oleh egoisme nalar beragama. Padahal haji dobel berhukum sunah. Sedangkan membiarkan tetangga mati kelaparan adalah dosa besar.


Perihal urusan pahala, agama sudah terlalu bijak menyikapi antara haji dengan status sosial. Jika si kaya dapat berhaji lantaran keluasan nikmat yang Tuhan berikan, lalu bagaimana dengan si miskin? Untuk urusan itu, si miskin tak perlu kecewa. Nabi Muhammad saw pernah menyatakan jika seseorang sehabis salat Subuh tetap duduk berzikir hingga datang sang surya, maka laku ketaatan tersebut diganjar seperti pahala haji mabrur. Padahal, yang pergi berhaji saja belum tentu mendapat kemabruran.


Kini, cerita jemaah haji Indonesia penuh keriuhan dan lebih disibukkan dengan urusan oleh-oleh sajadah dan kurma. Bertolak belakang dengan cerita berhaji zaman kolonial. Pelaksanaan ibadah haji penuh perjuangan. Menaiki kapal laut berbulan-bulan dengan fasilitas sekadarnya. Berhaji zaman dahulu diceritakan sembari menuntut ilmu sampai-sampai di Arab Saudi terdapat daerah bersebut Zaqaq Zawa: kampung dengan penghuni orang Indonesia yang menuntut ilmu (Muhammad Subarkah, 2012). Pun, kepulangan jemaah haji selalu menjadi ancaman bagi pihak kolonial. Penjajah merasa khawatir karena mereka selalu menjadi aktor perlawanan yang menyebarkan ide-ide persatuan dan anti-kolonialisasi (Majalah Historia, No.6/Tahun 1/2012).


Dalam konteks sekarang, aktualisasi kontribusi jemaah haji untuk bangsa dan minimal di lingkungan sekitar adalah menebar semangat kemabruran lewat laku-laku luhur. Sehingga tak terjebak pada kontradiksi beragama: kesalehan ritual yang selaras dengan ketaatan berlaku amoral. Dengan kata lain: haji yes, korupsi tetap jalan terus. Na’udzubillah.




sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/05/kepingan-rupa-rupa-hikayat-berhaji-615987.html

Kepingan Rupa-rupa Hikayat Berhaji | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar