Aku pulang hari rabu, tanggal 4 Desember. Jam 3 sudah sampai di bandara Sultan Mahmud Badarudin II. Sebelum berangkat, paginya aku cuma sarapan mie bihun saja. Padahal ketika di pool bis primajasa, aku sudah beli camilan, tapi tetap saja lapar. Karena untuk makan camilan itu rasanya aku tidak bernafsu makan. Kenyang karena camilan tentu beda dengan kenyang makan nasi. Jadi wajar saja aku kelaparan sesampai di Palembang. Beruntung kakakku berinisiatif menjemput di bandara dan membawakanku bekal nasi dan lauk. Jadilah aku makan dulu di masjid bandara sambil menunggu adzan ashar.
Naik bis Trans Musi
bis Trans Musi
Kami pulang menggunakan bis Trans Musi. Betul, sama seperti bis Trans Jakarta atau Trans Jogja. Keadaan kota Palembang dipercantik sejak acara Sea Games yang diadakan di Palembang sejak sekitar 2 tahun yang lalu. Bandaranya sudah ‘didandani’, apalagi sekarang sudah jadi bandara Internasional. Jalannya juga sudah beraspal mulus dari bandara sampai ke simpang lima yang menjadi percabangan menuju jalan-jalan utama di Palembang.
Kata kakakku, sebenarnya yang mencanangkan program Sea Games, PON, dan berbagai macam pesta olahraga nasional maupun internasional lainnya adalah gubernur sebelumnya. Syahrial Oesman. Gubernur sekarang hanya melanjutkan programnya saja, jadi yang dapat nama ya Alex Noerdin.
Kami harus transit di halte Asrama Haji untuk berganti bis. Kemudian nanti transit lagi di halte bawah Jembatan Ampera dekat pasar 16 Ilir. Jadi kami harus tiga kali ganti bis Trans Musi untuk menuju rumah. Terakhir kali aku menggunakan bis Trans Musi ini masih menggunakan uang. Seharga 3000-3500 rupiah bisa keliling Palembang meski harus beberapa kali transit.
Belakangan kudengar kabar sudah tidak menggunakan alat tukar uang lagi, tapi pakai kartu. Kartu ini dibeli seharga 20 ribu rupiah dan seperti kita deposit. Ketika naik Trans Musi, di dalam bis ada mesin yang digunakan untuk tapping kartu. Maka saldo uang pada kartu itu akan berkurang ketika kita masuk bis dan menempelkan kartu pada mesin tersebut. Saldo di dalam kartu mulanya bisa untuk 5 kali naik bis Trans Musi tanpa transit. Namun kata kakakku peraturannya berubah-berubah terus.
Pertama, jangka waktu maksimal 2 jam untuk transit sekali bayar. Jadi kalau jalan-jalanmu sudah lebih dari 2 jam, maka saldomu akan diambil lagi. Lalu peraturannya berganti lagi jadi 1 jam. Jadi aturan pertama yang bisa keliling Palembang dengan uang 3500 rupiah sudah tidak berlaku. Kemudian peraturan berubah lagi per 2 Desember kemarin dan harganya sudah naik jadi 4000 rupiah. Sekarang kalau beli kartu baru seharga 20 ribu, cuma bisa dipakai dua kali jalan. Karena sebetulnya harga 12 ribu adalah harga beli kartunya. Info ini saja aku tahu dari sesama penumpang lain. Aku sangat menyesalkan petugas yang tidak memberikan info ini kepada penumpang.
Kalau kita mau transit, tidak bilang ke petugas halte, dan ketika masuk bis kita tapping kartu, maka saldo akan berkurang. Seharusnya bilang dulu ke petugas, agar kartu bisa dikunci menggunakan alat sensor khusus dan saldo tidak berkurang ketika tapping di bis selanjutnya.
Banyak masyarakat yang masih belum mengerti bagaimana cara menggunakan kartu Trans Musi ini. Sampai ada seorang pemuda yang sama-sama dari bandara juga, saldonya berkurang dua kali karena tidak tahu peraturan baru ini. Sehingga saldonya sudah tidak cukup kalau mau bepergian lagi. Saldo bisa diisi di halte, tinggal bilang ke petugas, hanya saja biayanya jadi lebih mahal. Kupikir peraturan untuk bis Trans Musi ini belum tetap, dan memang sosialisasi untuk penggunaan kartu juga belum menyeluruh.
Mesin tapping kartu di dalam bis
Ada pula bapak-bapak yang mengeluh kepada petugas tentang ketidakmerataan sosialisasi ini. Petugas lalu menjawab sudah ada peraturannya ditempel di kaca bagian dalam bis. Ah, tidak semua penumpang akan melihat ke kaca itu kan? Lagipula bagaimana penumpang mau melihat kalau bis sudah penuh sesak dengan tangan bergelantungan di pegangan di bawah atap bis?
Aku juga berpikir, bukannya adanya bis Trans itu untuk membantu meringkankan beban rakyat ya? Dengan biaya murah, juga mengurangi polusi dengan banyak orang yang akhirnya tidak menggunakan kendaraan pribadi. Tapi nyatanya malah biaya jadi lebih mahal dan banyak penumpang Trans Musi jadi merasa dirugikan.
Rugi waktu karena untuk mengunci kartu ketika transit memakan waktu lama. Tinggal dikali saja berapa orang penumpang dengan berapa menit petugas itu melakukan penguncian kartu. Juga rugi uang. Karena seharusnya moda transportasi yang diperuntukkan kepada rakyat tidak perlu biaya yang mahal. Kan sudah disubsidi oleh pemerintah. Di Jakarta dan Jogja saja harganya sudah stabil. Antara 300-3500 rupiah.
Pemerintahan di Palembang
Aku kemudian berpikir tentang pemerintahan di kota Palembang. Ketika kutanya pada kakakku siapa gubernur Palembang, dia hanya tersenyum sambil menjawab ‘masih yang dulu..’ Aku langsung mengerti. Siapa lagi kalau bukan Alex Noerdin. Ya, dia pernah menyalonkan diri untuk menjadi calon Gubernur Jakarta kemarin lalu.
Sesampai di rumah pukul 6 sore, suasanya jadi ramai dengan kepulanganku. Banyak yang kami diskusikan di ruang keluarga. Terutama perihal kota Palembang. Dari keluargaku juga, aku tahu kalau sudah menjadi rahasia umum akan korupsi yang dilakukan Alex Noerdin beberapa tahun belakangan. Pikiranku terus mengalir tentang tindakan masyarakat Palembang kemudian.
Namun, begini jawaban kakakku:
“Sebenarnya dia sudah digugat An, sudah sampai pengadilan malah, cuma ya Alex-nya pintar melobi mungkin, jadi ya ‘lepas’ lagi”
Aku jadi tercenung mendengarnya. Memangnya sudah tidak ada sosok yang lain apa yang peduli, yang mengerti tentang kondisi Palembang? Mahasiswa Palembang pada kemana? Mereka tidak demo apa? Mamaku akhirnya menimpali dengan pesimis.
“Ah, Ni, kamu seperti tidak tahu orang Palembang saja, mahasiswa Palembang itu kebanyakan anak-anaknya pemerintah juga, jadi pas mau demo dibilangin-lah, memangnya kalian mau demo keluarga sendiri?”
Makin speechless lah saya mendengarnya. Memangnya tidak ada yang menulis lewat surat kabar begitu? Atau ada orang yang kritis terhadap pemerintahan kota Palembang? Aku sudah bersiap mendengar jawaban selanjutnya yang bernada sama. Dan ternyata benar dugaanku.
“Wong korannya aja punya anaknya Alex..”
Diskusi malam ini membuatku nyengir lebar. Akar permasalahan diskusi ini adalah tentang bis Trans Musi dan yang mengurusi kartu Trans ini adalah walikota Palembang, bukan gubernur. Ketika kutanya lagi perihal walikotanya, aku tak perlu berharap banyak. Jawabannya sama saja. Walikota Palembang tak jauh berbeda dengan Gubernurnya.
Tidak usah jauh-jauh untuk mengetahui siapa walikota Palembang sekarang. Di kartu Trans yang kubeli saat itu tertera namanya. “Walikota Palembang: H. Romi Herton”. Ah.. narsis juga bapak walikota satu ini. Aku tertawa saja dalam hati.
Di tengah kartu Trans terdapat logo dan di bawahnya tertera kalimat bertuliskan 3rd Islamic Solidarity Games. Itu lho yang perhelatan sepakbola antar Negara Islam beberapa waktu yang lalu. Di sebelah kanan atas ada tulisan “Mari Wujudkan Budaya Lalu Lintas yang Aman, Nyaman, Tertib menuju Palembang Emas.”
Lalu aku jadi teringat ketika di bis menuju Plaju, dan kami harus melewati jembatan Ampera. Bis Trans Musi jurusan Plaju ini kecil, tentu kapasitasnya juga kecil. Padahal kata kakakku bis jurusan Plaju ini selalu ramai dan padat dibanding bis-bis Trans Musi jurusan lain. Kenapa yang jurusan Alang-Alang Lebar dan jurusan lain, bisnya lebih besar padahal penumpangnya selalu sepi?
Aku segera bisa menemukan jawabannya setelah mendengar cerita tentang gubernur dan walikota kota Palembang. Karena Plaju itu kecamatan yang nyempil. Tidak dilewati ruas jalan utama di kota Palembang. Juga tidak dilewati oleh mereka para atlet dan orang-orang dari luar kota bahkan luar pulau Sumatera. Jadi buat apa dikasih bis Trans Musi yang berkapasitas besar?
Benar saja, kami harus rela berdiri berdesakan dengan tangan bergelantungan di pegangan bawah atap bis. Apalagi ketika jalan menanjak saat melalui jembatan Ampera. Kejadian itu membuatku tersenyum beberapa kali karena hampir terjatuh dengan gravitasi yang tidak seimbang. Apalagi ditambah macet di jembatan Ampera, karena sekarang sedang dilakukan pengerjaan jembatan gantung lagi dekat jembatan Ampera.
Ah, Palembang, kota kelahiranku. Apa yang bisa kuperbuat untukmu? [Ardhani Reswari ]

0 komentar:
Posting Komentar