Sayang Taufiq Kiemas telah mangkat. Maka Megawati untuk kali ketiga akan maju sebagai capres 2014, didampingi Joko Widodo. Jokowi dijadikan kuda tunggangan karena dia mengunggguli semua capres semua partai dalam aneka survei. Keadaan ini justru menjadikan PDIP di persimpangan. Jika Taufiq Kiemas masih ada, maka suasana positif pencapresan Jokowi sudah diumumkan. Perhitungan politik Taufiq Kiemas seperti ketika mengangkat Jokowi maju ke Pilgub DKI terbukti tepat: tidak menunda-nunda momentum. Meskipun diyakini pada saat itu serangan terhadap Jokowi dipastikan sengit, namun Taufiq Kiemas memerintahkan Megawati tetap mencalonkan Jokowi sebagai cagub. Hasilnya, Taufiq benar. Jokowi-Ahok menang.
Ide memasang Megawati-Jokowi dan pencapresan pasca pileg 2014 diyakini sebagai sabotase terhadap PDIP yang dipastikan akan memenangkan pileg dan pilpres jika pencapresan Jokowi diumumkan sebelum pileg - sebagaimana hasil semua survei . Namun kenapa justru Mega tampak ragu-ragu mengumumkan pencalonan Jokowi sebelum usai pileg? Mari kita analisis dengan hati gembira ria.
Pertama, Kekuatan Mega. Fakta nyata adalah bahwa Megawati Soekarnoputri tampak masih kokoh didukung oleh semua unsur dalam diri PDIP. Kekhawatiran perpecahan PDIP sejak mangkatnya the God Father Taufiq Kiemas belum terbukti. Megawati masih kuat. Faksi Aktivis PDIP pimpinan Tjahjo Kumolo tetap tiarap bersama Faksi Nasionalis-Soekarnois pimpinan Megawati. Benarkah Mega kuat? Tidak juga.
Mega yang plin-plan dan tidak sejalan dengan ‘roh wong cilik’ yang menghendaki pencapresan Jokowi menjadi bukti. Jika ditilik, kondisi PDIP tetap rapuh karena ‘diombang-ambingkan dengan ketidaktentuan’ terhadap isu politik pembusukan terhadap momentum Jokowi dan PDIP.
Kedua, diajukannya Mega didampingi Jokowi adalah bukti mampatnya pemikiran jernih PDIP sebagai hasil sabotase internal PDIP. Sebenarnya ide memasangkan Megawati-Jokowi dan pengumuman pencapresan Jokowi pasca pileg adalah ide musuh PDIP yang tak ingin melihat PDIP dan Jokowi naik ke puncak kekuasaan. Musuh PDIP dari dalam PDIP melakukan penasihatan yang menyesatkan. PDIP atau Mega seharusnya mencontoh popularitas Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2003-4.
Ketiga, plin-plan-nya Mega juga didukung oleh upaya di luar PDIP yang menampilkan seolah Megawati masih layak maju sekali lagi sebagai capres. Publik menghormati Megawati namun tak menghendaki Mega memimpin dan menjadi presiden lagi - rakyat sudah belajar bahwa Megawati kurang berprestasi dan justru dikuasai oleh lingkaran orang luar PDIP ketika menjadi presiden. Contoh, kasus 27 Juli tak tuntas meski Mega menjadi presiden, bahkan ultah mengenang 27 Juli pun tak pernah dihadiri Mega padahal Mega naik ke pucuk kekuasaan akibat peristiwa 27 Juli yang menarik simpati publik.
Keempat, faktor popularitas dan elektabilitas Jokowi yang sangat kuat. Faktor ini justru menjadi boomerang karena baik PDIP maupun partai lain mengamati dengan seksama. Pengumuman pencapresan Jokowi sebelum pileg diyakini akan mendongkrak perolehan kursi PDIP - dan kemungkinan akan memenangkan pileg. Rakyat membutuhkan ketepatan dan keteguhan serta kepastian pencapresan Jokowi. Namun, Mega sendiri justru tengah menimbang-nimbang - karena sabotase dan penjerumusan bahwa rakyat masih menghendaki Mega - untuk menggantung pencapresan Jokowi untuk kepentingan diri sendiri.
Jika hasil pileg PDIP bagus maka Mega akan maju. Mega tak mau rugi dengan mencapreskan Jokowi tanpa adanya imbalan buat diri Mega dan keluarganya. Ide memasangkan Puan Maharani atau Ananda Pradana tak buruk jika dilakukan sebelum pileg - untuk mengantisipasi serangan akibat tak berpengalamannya Puan apalagi Ananda yang cupu alias culun punya.
Kelima, faktor kepanikan partai-partai di luar PDIP terkait fenomena Jokowi. Semua partai termasuk Golkar dengan si Aburizal ‘lumpur Lapindo’ Bakrie, bahkan Presiden partai gurem yang sangat ambisius berkuasa Anis ‘Hedonis-Rolex’ Matta dan si Wani Piro Hidayat Nur Wahid dari partai agama PKS yang presidennya korupsi ustadz Luthfi Hasan Ishaaq, atau si culun Pramono Edhie Wibowo dari partai korup Demokrat, tak akan mampu menandingi Jokowi. Para capres lain tak usah dihitung karena hanya akan mengotori kertas suara saja dan merusak pemandangan di bilik suara.
Ketakutan partai-partai lain ini tampaknya justru meninabobokkan dan membuat Mega bermimpi lagi untuk maju sendiri dengan Jokowi sebagai cawapres. Selain tak menghendaki Jokowi maju, jika pun akan dicapreskan, pencapresan setelah pileg lebih menguntungkan para parpol lain. Kenapa? Faktor Jokowi sebagai vote getter hilang.
Rangkaian urain di atas, maka penundaan pengumuman pencapresan Jokowi setelah pileg adalah bukti rapuhnya PDIP selepas mangkatnya the God Father Taufiq Kiemas dan pengaruh intrik politik di dalam dan di luar PDIP yang tak menghendaki karena ketakutan Jokowi maju sebagai capres. Kenapa? Siapapun capres - bahkan impor dari luar pun misalnya - tak akan ada yang mampu menandingi elektabilitas dan popularitas Jokowi. Justru keadaan ini membuat PDIP (baca: Megawati) limbung karena tekanan dan sabotase nasihat politik internal dan persaingan di luar PDIP.
Jadi sebaiknya Megawati mencapreskan Jokowi dan Mega tak mencalonkan diri lagi, Jikalau akan menitipkan Puan atau Ananda, PDIP harus menang dan mencalonkan capres tanpa koalisi - sesuatu yang tak mudah. Kecuali sekali lagi Jokowi diumumkan sebagai capres sebelum Pileg 2014, sehingga rakyat mendukung PDIP dengan harapan Jokowi sebagai calon Presiden RI 2014. Jika tidak, PDIP dan Megawati hanya akan menjadi pecundang untuk ketiga kalinya dan presiden RI kemungkinan akan dijawab oleh Anis Matta-Hidayat Nur Wahid. Mau?
Salam bahagia ala saya.

0 komentar:
Posting Komentar