Wacana pemilihan kepala dukuh (pilduk ) akan di hapus oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo telah berhembus. Pilduk akan diganti dengan sistem seleksi melalui tes tertulis. Bahkan Bupati Kulon Progo dalam waktu dekat bakal segera menyusun draft Raperda yang akan diajukan ke DPRD..
Wacana ini mendapat penolakan tegas dari Paguyuban Kepala dusun se-Kulon Progo, Manunggaling Dukuh Kulon Progo (Madukoro). Paguyuban yang merupakan gabungan sejumlah 936 dukuh ini menolak tegas wacana tersebut. Mereka menilai akan memperlebar jarak antara dukuh dengan warganya.
Pemilihan dukuh dengan sistem seleksi pernah di berlakukan beberapa silam. Menurut Mugiyatno, Ketua Madukoro, hal tersebut hanya memposisikan dukuh seperti perangkat desa, selayaknya kepala bagian yang bekerja dari balik meja. Padahal dalam kerjanya, dukuh harus bersentuhan langsung dengan masyarakat dan melebur di dalam masyarakat. Biasanya dukuh yang terpilih melalui pilduk benar-benar orang yang di tokohkan masyarakat setempat.
Dukuh terpilih berdasarkan penilaian warga sehingga pengabdiannya kepada masyarakat tinggi. Masyarakat juga lebih hak pantau atau pun mengontrol kinerja yang bersangkutan. Sementara, dukuh yang berdasarkan seleksi biasanya bukan merupakan pilihan atau aspirasi masyarakat, sehingga di kemudian hari dikhawatirkan tidak dapat bekerjasama dengan warga.
Terlepas dari pro kontra dengan wacana penghapusan pilduk ini maka perlu ditinjau terlebih dahulu kelebihan dan kekurangan bila menerapkan pilduk ini. Perlu juga di tinjau kelebihan dan kekurangan pilihan dukuh dengan seleksi tes tertulis.
Menurut penulis, ada beberapa kelebihan dan kekuranga pilduk langsung. Kelebihannnya antara lain : Pertama , berjalannya demokrasi langsung pada tingkat akar rumput dimana kedaulatan di tangan warga / rakyat. Ini menjadi pesta demokrasi rakyat yang mendebarkan dan di tunggu oleh masyarakat setempat. Kedua, dukuh yang terpilih mempunyai tingkat legitimasi yang tinggi karena dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga , pertanggungjawaban ‘moral’ langsung kepada rakyat lebih kuat.
Sedangkan kekurangannya antara lain : Pertama, membutuhkan proses yang cukup lama dengan tahapan-tahapan yang cukup banyak. Kedua, membutuhkan dana yang lebih mahal baik bagi penyelenggara maupun para peserta pilduk. Biasanya pemerintah dan peserta mengeluarkan biaya untuk penyelenggaraan pilduk. Bagi para peserta pilduk juga masih mengeluarkan biaya lain-lain yang berkaitan dengan pilduk demi mencapai kemenangan. Belum lagi belum apabila ada permainan money politic maka biaya yang di keluarkan akan banyak. Ketiga, dengan pilduk langsung berpotensi terjadi gesekan horisontal antar pendukung peserta pilduk.
Sedangkan pilduk dengan menggunakan model Seleksi dengan tes tertulis juga mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya antara lain Pertama,penyelenggaraan pilduk lebih sederhana / simpel. Tidak ada tahapan-tahapan yang bermacam-macam. Kedua, menghemat biaya penyelenggaraan. Ketiga, terukur tingkat kepandaiannya.
Sedangkan kekurangannya antara lain : Pertama, dukuh terpilih nantinya mempunyai tingkat legitimasi masyarakat yang rendah. Kedua, menghasilkan pemimpin yang pintar tapi belum tentu mengakar di dalam masyarakat karena bisa jadi bukan tokoh masyarakat.
Dengan meninjau kelebihan dan kekurangan masing-masing metode tentu menjadi pertimbangan dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menentukan kebijakan. Tentu tidak ada jaminan 100% dari kedua model tersebut dapat menghasilkan dukuh yang benar-benar berkualitas dan bersih dari permasalahan. Hal ini mengingat kompleksitas persoalan yang ada di tengah masyarakat yang harus di hadapi.
Seandainya jika kebijakan penghapusan pilduk langsung dihapuskan, secara politis akan menimbulkan kekhawatiran pada kehidupan masyarakat setempat. Paling tidak ada dua hal yang menjadi kekhawatirannya :
Pertama, apabila hasilnya bertentangan dengan aspirasi masyarakat mayoritas maka akan mempunyai konsekuensi negatif. Dukuh yang di pilih tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat. Setiap kebijakan yang diambil tidak mendapat respon yang positif dari masyarakat. Dalam sosiologi, kepemimpinan dukuh terpilih hanya akan menjadi kepemimpinan sebagai kedudukan dan bukan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial.
Kedua, tingkat kepatuhan dan pertanggungjawabannya cenderung akan lebih ke ‘atas’ dari pada ke ‘bawah’. Artinya di khawatirkan dukuh akan lebih menjadi abdi pemerintah dari pada abdi masyarakat karena merasa ‘di pilih’ oleh pemerintah bukan oleh ‘masyarakat’. Kekhawatiran ini juga melanda ketika terjadi perubahan status Carik / Sekretaris Desa dari perangkat desa menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Oleh karena itu, kebijakan penghapusan pilduk ini memang perlu untuk di bicarakan bersama lebih lanjut dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Pemerintah perlu untuk menjelaskan argumentasi yang melatar belakanginya secara gamblang kepada masyarakat. Hal ini perlu dilakukan agar tidak ada kesalah pahaman pada masyarakat. Apalagi pilduk ini biasanya di lakukan pada masyarakat pedesaan, dimana tingkat kohesivitas masyarakat masih kuat. Sedangkan di masyarakat perkotaan saja kadang pilihan Ketua RT menggunakan pilihan langsung.
Penjelasan ini juga penting untuk menghindari politisasi dari pihak lain yang mempunyai kepentingan-kepentingan lain. Apalagi pada tahun politik -mendekati Pemilu- ini sangat rawan isu-isu yang berkaitan masyarakat di gunakan untuk komoditas politik untuk kepentingan meraup suara dan dukungan rakyat.
Saya kira langkah ini bisa menjadi ajang untuk mencari jalan tengah untuk mengakomodir semua kepentingan dengan tidak di sertai adanya gesekan apalagi benturan antar pihak. Semoga.
Kulon Progo, Desember 2013.

0 komentar:
Posting Komentar