promosi bisnis online gratis

“Netral”


1386213077336046099


Akhir-akhir ini masalah netral menjadi salah satu berita yang menarik terkait dengan pemilu 2014, paling tidak terkait dengan media dan TNI –dan juga tentunya, KPU. Masalahnya, di dalam dunia yang dibangun di atas dasar kepentingan diri (self interest), mungkinkah seseorang berdiri netral?


Mengapa erupsi gunung berapi bisa jadi tontonan menarik? Tetapi bencana bagi yang langsung terkena dampaknya. Namun jangka panjang merupakan berkah bagi petani atau penambang pasir. Satu peristiwa, satu tempat bisa dilihat secara berbeda, tergantung perspektif yang dipakai oleh si penglihat. Maka pernyataan di atas, bahwa dunia dibangun atas dasar kepentingan diri pun sebenarnya mestinya hanya merupakan satu perpsektif saja. Bahwa mungkin itu merupakan arus terkuat adalah benar, tetapi jika pada saat yang sama merupakan satu-satunya perspektif yang harus dipakai seluruh umat manusia lalu apa bedanya manusia dengan binatang? Bukan masalah pengejaran kepentingan diri manusia menjadi binatang dalam hal ini, tetapi pada pengingkarannya akan kemungkinan perspektif lain.


“… dengan penghormatan penuh pada setiap orang untuk memilih sesuai dengan hati nurani masing-masing, majalah ini menggunakan hak berpendapatnya bahwa ARB tak layak dipilih ,” demikian tulis majalah Tempo edisi 25 November-1 Desember 2013.[i] Bagi para pendukung ARB (Aburizal Bakrie) jelas yang ditulis Tempo bisa sangat mengganggu, dan sangat mungkin kemudian menyimpulkan bahwa Tempo sudah tidak netral lagi. Tetapi jika dilihat lebih jauh, kembali pada pertanyaan awal, mungkinkah netral? Bahkan misalnya tanpa hak berpendapat pun Tempo dan media lain akan selalu mengambil sudut pandang atau perpsektif tertentu. Dalam Opini yang berjudul ‘Siasat ARB’ itu Tempo mengambil perspektif konglomerat, pengusaha besar, jadi tidak termasuk Joko Widodo, Gubernur DKI yang bukan konglomerat meski juga mempunyai latar belakang pengusaha.


Sama-sama sebenarnya masalah perspektif jika masalah netralitas diproblematisir, masalah ‘netralitas’ media tentu berbeda dengan TNI maupun KPU. Hal ini dapat dengan mudah kita bedakan dengan membayangkan jika TNI atau KPU membuat pernyataan dengan kata-kata persis seperti yang ditulis Tempo tentang ARB. TNI dan KPU jelas bukanlah badan swasta seperti hampir semua media yang ada sekarang ini, maka perspektifnya pun tentu akan berbeda. Perspektif apa yang sebaiknya dipakai oleh TNI misalnya, menghadapi pemilu 2014? Kutipan tulisan Bilveer Singh tentang Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu (KSAD 2002-2005) kiranya dapat memberikan sedikit gambaran:


Sepanjang karirnya, Ryamizard senantiasa berpijak dengan kokoh, teristimewa ketika prinsip-prinsip utama menjadi taruhan. Jadi, ketika Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, Hartono, memerintahkan semua perwira memakai jaket GOLKAR Ryamizard menolak untuk patuh atas perintah tersebut dengan alasan bahwa sebagai seorang perwira TNI, ia tak mau terlibat dalam politik: ia hanya akan memakai jaket TNI dan bukan jaket salah satu partai politik, sekalipun GOLKAR saat itu (saat Orde Barupen.) merupakan partai terkuat yang memerintah negri ini. Meskipun dapat dipecat karena pembangkangannya, ia berpegang teguh pada prinsipnya, sekali pun ia hanyalah perwira tingkat menengah.[ii] *** (5/12/2013)[iii]






[i] Siasat ARB, Tempo, 25 November-1 Desember 2013, hlm. 31




[ii] Biveer Singh, Ryamizard, Sang Penelusur Jejak Gajah Mada, Books and Writers Network, Sydney, 2005, hlm. 176-177




[iii] Terimakasih pada mas Ito-Prajna atas diskusinya. Keseluruhan tulisan di atas tetap merupakan tanggung jawab penulis. Pernah dimuat di http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=1307#more-1307





sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/05/netral--616653.html

“Netral” | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar