2014 adalah tahun suksesi kepemimpinan nasional. Gelagat mutakhir mewartakan keriuhan kontestasi nominasi sejumlah calon presiden telah ditabuh. Ada perwakilan militer dan sipil. Sayangnya, tak tampak perwakilan dari kalangan muda. Parameter ‘muda’ serta pendikotomiannya dengan afiliasi sarkastis yakni ‘tua’ disebut-sebut sudah tidak relevan lagi diperbincangkan. Karena keberhasilan kepemimpinan bukan merujuk pada kasta umur, melainkan kapabilitas dan integritas. Tapi, bukankah anasir-anasir sejarah bangsa ini mencatat dengan tinta emas atas peran kaum muda; golongan dengan militansi yang kuat. Bukankah Sumpah Pemuda 1928 tak ubahnya sebagai manifestasi kesadaran kebangsaan untuk kemudian mewujud pada aras kemerdekaan 1945.
Soekarno, Hatta, Sudirman, Sutan Syahrir, Adam Malik, dan Muhammad Yamin adalah sederet tokoh muda yang berkisar empat puluhan tahun. Dus, tanpa melupakan tangan otoriternya, Soeharto pun mendapuk kursi kepresidenan di usia 43 tahun. Peran aktif pemuda mendongkrak heroisme yang kemudian menjungkalkan rezim Orde Baru 1998 juga patut dibaca dalam sudut pandang kekuatan tersembunyi namun dahsyat yang kiranya ‘hanya’ dimiliki kalangan muda. Sayangnya, di era reformasi, peran pemuda dalam kepemimpinan nasional dirasa nihil. Era Reformasi adalah kepragmatisan yang menuntut realisasi gagasan-gagasan luhur terbengkalai. Maka, lantaran kegagapan berpolitik, sebagian politisi muda tersandung korupsi.
Terlalu tinggi impian dan senantiasa belum saat tepat bagi pemuda mendapat tempat tertinggi dalam kancah politik praktis. Ada sederet stigma negatif bila kini pemuda kerap diasosiakan dengan laku tawuran sesama pelajar, mahasiswa, dan antarkampung. Termasuk kepicikan fanatisme buta terhadap sepak bola dengan mewariskan dogma sebuah klub sepak bola sebagai musuh bebuyutan. Sekadar menghargai sepak bola sebagai elan sportivitas saja tak kunjung bisa.
Kohesi sosial juga mulai meredup terutama di kalangan muda seiring pesatnya era digital dan sosial media. Generasi pragmatis dan serba instan. Meski begitu, kelebihan generasi muda sekarang ialah terwujudnya kepedulian dan kejernihan sikap untuk melawan kezaliman yang kentara; dengan gerakan dukungan terhadap Prita Mulyasari dan pimpinan KPK yang dikriminalisasi. Dalam kancah internasional, tumbangnya diktator diawali oleh gerakan kaum muda melalui sarana sosial media macam Facebook dan Twitter. Oleh karena itu, ada pergeseran anatomi perlawanan yang tidak harus turun ke jalan dan berkoar-koar, melainkan cukup dengan menggerakkan jemari pada telepon selular.
Pemuda sekarang kerap menggulirkan laku keprihatinan. Ancaman narkoba merasuk dalam relung nadinya. Data Badan Nasional Anti Narkotika (BNN), Januari 2013 lalu, mencatat tak kurang empat juta penduduk Indonesia sebagai pengguna zat terlarang tersebut. Mayoritas pengguna adalah kalangan muda. Laku keprihatinan terus berlanjut manakala pemuda telah kehilangan identitasnya sebagai muasal dari Indonesia. Gegar budaya, gagap kultur, dan terhamparkannya rasa inferioritas menyebabkan pemuda kerap berganti-ganti baju Korea, Jepang, lalu Eropa. Goyang Gangnam Style lebih dikuasai ketimbang Tari Kecak. Superman lebih digandrungi padahal Indonesia mempunyai Gatot Kaca dan Gundala.
Dalam ranah pendidikan, pemuda berada dalam persimpangan jalan. Muatan pelajaran dogmatis-kognitif memberikan pemandangan lumrah bahwa Ujian Nasional selalu dibumbui oleh aksi sontek dan bentuk kecurangan lain. Peserta didik lihai menjawab definisi cerpen, namun menggeleng kepala bila diminta membuatnya. Pendidikan berbasis angka sudah saatnya diakhiri. Jika kemudian di hari kelulusan banyak ditemukan aksi corat-coret seragam dan konvoi kendaraan justru secara langsung menunjukkan pendidikan Indonesia ibarat penjara. Pemuda kehilangan kebebasan berkreasi.
Belakangan ini, generasi muda juga terjangkit wabah ekstremisme dan radikalisme beragama. Hal itu setidaknya terlihat dari penangkapan terduga teroris yang dilakukan oleh Densus 88 selama kurun waktu Agustus 2013. Ketiga terduga teroris yang ditangkap tersebut masing-masing berusia 21 dan 26 tahun. Beberapa ormas keagamaan tertentu juga melibatkan pemuda dalam aksi sweeping tempat-tempat yang dianggap maksiat selama Ramadan. Survei Lembaga Kajian Islam dan dan Perdamaian (LaKIP) terhadap peserta didik se-Jabodetabek awal 2011 menuai hasil memprihatinkan: hampir 50 persen pelajar setuju tindakan kekerasan atau aksi radikal demi agama.
Namun, dalam aras berlainan, kita patut tersenyum lebar; bahwa sebagian pemuda sibuk mengelap peluh keringat demi mempersembahkan kebanggaan di cabang olahraga bulutangkis. Warta tim olimpiade Indonesia menyabet medali emas seperti berita langganan saban tahun dalam kejuaraan ilmu eksakta di tingkat internasional. Dengan artian, pemuda Indonesia tidak kalah cerdas dengan ilmuwan muda dari negara maju. Sedangkan kini, telah gencar kaum muda ‘terserang’ virus entrepreneurship alias kewirausahaan. Gejala ini sangat baik terutama di kalangan mahasiswa dalam upaya mendongkrak roda perekonomian negara. Apalagi syarat untuk menjadi negara maju tersebab oleh setidaknya ada dua persen jumlah penduduknya yang menjadi pengusaha.
Rekontekstualitas peran pemuda ialah berfungsi kembalinya semangat kreatif dan inovatif dalam masing-masing bidang sehingga bisa menciptakan generasi pemuda yang kredibel dan berintegritas; mencintai kebudayaan bangsanya sendiri. Tak heran bila Soekarno pernah berujar: Berikanlah aku sepuluh pemuda, maka aku akan guncang dunia. Ternyata pemuda mempunyai kekuatan besar. Kini, tinggal di tangan masing-masing pemuda nasib Indonesia dipertaruhkan: bersama memajukan bangsa atau sebaliknya.

0 komentar:
Posting Komentar