Pacaran pada era saat ini menjadi salah satu bentuk hubungan sosial manusia laki-laki dan perempuan yang tidak tersentuh oleh hukum formal negara maupun agama. Hampir setiap hari dalam kehidupan sehari-hari bisa ditemui kegiatan orang berpacaran bahkan dalam sinetron atau film digambarkan dengan adegan berduaan, bergandengtangan, berciuman, berpelukan bahkan berhubungan badan. Dan tidak perlu disangkal bahwa orang yang berpacaran bersentuhan dengan kegiatan yang sering dikenal dengan singkatan KNPI (Kissing/berciuman), Necking (berpelukan), Petting (rangsangan), dan intercouse (penetrasi penis ke vagina).
Pada era jaman jahiliyah dan awal mula datangnya islam kegiatan pacaran tersebut diatur oleh agama Islam dengan hubungan antara majikan dan hamba sahaya (budak). Seorang perempuan muslimah boleh memiliki budak atau hamba sahaya (Arab, al-’abd). Akan tetapi tidak boleh berhubungan intim dengan budak lelakinya tersebut. Adapun budak perempuan (Arab, al-jariyah atau al-amat) yang dimiliki oleh laki-laki muslim, maka pemiliknya boleh berhubungan intim dengan budak tersebut dengan syarat sebagai berikut:
(1) Laki-laki itu pemilik penuh jariyah tersebut. Tidak boleh milik kongsi dengan lelaki lain.
(2) Tidak ada hal yang menghalangi yang menimbulkan keharaman untuk berhubungan intim dengan hamba perempuan itu seperti halnya yang berlaku bagi wanita yang hendak dinikah. Penghalang yang mengharamkan hubungan intim itu antara lain adalah (a) perempuan itu sudah punya suami, (b) ada hubungan mahram , (c) ibu atau anak perempuan itu pernah/sudah berhubungan intim dengan pihak laki-laki/tuan; (d) kafir yang bukan ahlul kitab; (e) dan bukan saudara perempuan dari hamba sahaya perempuan lain yang pernah di wathi’/jimak (hubungan intim) dengannya. Maka apabila terpenuhi semua syarat-syarat di atas, maka boleh berhubungan intim dengan hamba sahaya perempuan dengan sebab milkul yamin (kepemilikan).
QS 23. Al Mu’minuun: 5-6
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa
Hukum memiliki hamba sahaya/budak ini sebagai jawaban Islam dalam mengatur hubungan antar manusia saat itu. Dan seiring berjalannya waktu, Islam dapat diterima oleh banyak manusia dan memiliki banyak pengikut hingga akhirnya melarang perbudakan dan menyuruh manusia untuk memerdekakan budak.
QS.Al Balad : 11-13
11. ” Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
12. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu ?
13. ( yaitu ) MELEPASKANBUDAK DARI PERBUDAKAN “.
Kaum Islam saat inipun sudah lupa dengan Al quran sehingga mereka hanya membaca ayat-ayatnya saja tanpa mengetahui maknanya. Padahal obat dari penyakit hati salah satunya adalah membaca al quran beserta maknanya.
Kelemahan umat islam ini menjadikan umat islam mengikuti produk yang sebenarnya mengambil dari perbudakan yaitu pacaran, baik itu pacaran terang-terangan (dengan izin orang tua) ataupun yang pacaran backstreet (tanpa ijin orang tua).
Seperti halnya dalam perbudakan, sistem pacaran membenarkan hubungan layaknya suami istri dengan pacarnya. Dengan dalil hukum suka sama suka. Pola hubungan pacaran inilah yang telah merusak kehidupan masyarakat saat ini. Karena sistem pacaran bukan murni perbudakan namun mengambil sebagian dari hukum perbudakan yang pernah dihalalkan oleh islam. Dan sikap menerima sebagian dan menolak sebagian yang lain dari Islam ini adalah ciri dari sikap orang-orang munafik. Sehingga bisa dikatakan bahwa orang yang menggunakan sistem pacaran adalah orang munafik.

0 komentar:
Posting Komentar