promosi bisnis online gratis

Refleksi Historis Jakon Hingga TKI


Dalam pelaksanaan Pembangunan Nasional, bahwa para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat strategis sebagai pelaku dan sumber penyumbang devisa negara. Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja tersebut, maka pembangunan di bidang ketenaga-kerjaan diperlukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), perlindungan hukum, standar upah, jaminan pelayanan kesehatan, dukungan pelatihan ketrampilan, serta kesejahteraan keluarganya sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Hal itu, untuk meminimalisir potensi permasalahan yang ada.


Bila melihat sejarahnya, bahwa pengalaman pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sudah ada pada tahun 1890, dan pola perekrutannya menggunakan sistem kerja kontrak oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda untuk mengerahkan sekitar 32.986 orang asal Pulau Jawa ke Suriname, salah satu negara jajahan Belanda. Para tenaga kerja kontrak asal Pulau Jawa itu dikirim ke Suriname untuk mengganti tugas para budak asal Afrika, yang telah dibebaskan pada tanggal 1 Juli 1863. Istilah untuk para tenaga kerja kontrak asal Jawa ini kemudian dikenal sebagai “Jawa Kontrak” (Jakon) pada masa itu.


Gelombang pertama pengiriman tenaga kontrak ini diberangkatkan dari Batavia pada 21 Mei 1890, dengan Kapal Ekspedisi Dagang “SS Koningin Emma” dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Pelayaran jarak jauh ini singgah di Negeri Belanda untuk diregistrasi dan tiba di Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890. Selanjutnya, pengiriman tenaga kontrak gelombang kedua terdiri 614 orang dengan Kapal Ekspedisi Dagang “SS Voorwarts” dari Pelabuhan Semarang, dan tiba di Pelabuhan Suriname pada tanggal 16 Juni 1894.


Selanjutnya, pengiriman tenaga kerja asal Jawa ini dilakukan oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda sejak tahun 1890 sampai dengan 1939 dengan menggunakan 77 buah Kapal Laut, sehingga jumlah tenaga kontrak asal Jawa di Suriname mencapai sekitar 32.986 orang. Dari tahun 1890 hingga 1914, selain tenaga kerja kontrak asal Jawa, juga ada kalangan keluarga bangsawan Kraton Mataram dan para tokoh ulama pemberontak yang dijadikan tahanan politik di Suriname oleh pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda.


Kemudian, setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pemerintahanan Presiden Soekarno membentuk Kementerian Perburuhan pertama untuk menata masalah ketenaga-kerjaan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1947 tentang Pembentukan Kementerian Perburuhan, yang diregulasikan pada 3 Juli 1947. Pada masa Orde Lama, Kementerian Perburuhan telah melakukan hubungan kerja-sama dengan pemerintahan Kerajaan Arab Saudi dalam hal pengiriman buruh tenaga kerja.


Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto merubah Kementerian Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi dalam susunan Kabinet Pembangunan III. Pada tahun 1988, pemerintah Indonesia meregulasikan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 5 Tahun 1988 tentang Ketenagakerjaan, dimana pada saat itu tingkat migrasi internasional TKI semakin tinggi. Selanjutnya, pelaksanaan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri diatur berdasarkan Peraturan Menteri Tenga Kerja Indonesia Nomor : Per-02/Men/1994 tentang Penempatan Tenaga Kerja Di dalam dan ke Luar Negeri, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep-44/Men/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri.


Kedua regulasi tersebut merupakan pengganti regulasi Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-06/Men/1987 tentang Bursa Kerja Swasta, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1991 tentang Antar Kerja Antar Negara (AKAN), yang dinilai pemerintah sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan nasional Indonesia. Berbagai ketentuan pemerintah tersebut relatif cukup lengkap meskipun dalam implimentasinya belum dilaksanakan secara efektif, sehingga disinyalir menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran.


Pada Era Reformasi Tahun 1998, pemerintah Indonesia juga belum mempunyai mekanisme perundang-undangan untuk melindungi TKI di luar negeri. Krisis moneter yang melanda Indonesia di tahun 1997, telah menyebabkan target pengiriman TKI meningkat tajam dari 500.000 orang tenaga kerja pada Pelita V menjadi 1.250.000 orang Tki di Pelita VI. Kemudian, pemerintah juga meregulasikan Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 204 Tahun 1999 tentang Penempatan TKI Ke Luar Negeri, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 92 Tahun 1998 tentang Asuransi Sosial Untuk Buruh Migran.


Pada tahun 1998, skema asuransi sosial yang dibangun untuk buruh migran, namun aspek operasional lebih mendominasi dibandingkan aspek perlindungan untuk buruh migran dalam regulasi tersebut. Meningkatnya jumlah pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2001, telah menjadikan pemerintah menyadari betapa pentingnya peran perempuan dalam bidang ketenagakerjaan nasional, meskipun perlindungan bagi TKI perempuan masih sangat minim. Keputusan Presiden RI Nomor 109 Tahun 2001 tentang Perlindungan Bagi TKI Di Luar Negeri, kemudian menjadi dasar dibentuknya Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) yang berada di bawah Kementerian Luar Negeri, untuk memediasi masalah hukum TKI.


Menyadari permasalahan tersebut, pada masa pemerintahan Era Reformasi telah diregulasikan Peraturan Presiden republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009. Dan melalui kebijakan pemerintah ini, diharapkan para pengusaha dapat mempersempit kesenjangan upah antara lapangan usaha formal dan informal, menekan laju kenaikan pengangguran terbuka, serta menurunkan angka kemiskinan. Pada tahun 2004, Pemerintahan Presiden Megawati meregulasikan Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN).


Regulasi ini mendapat kecaman dari masyarakat luas, dan kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI sejak tahun 2010, disebabkan karena regulasi dinilai belum mempunyai perspektif perlindungan, lebih difokuskan pada aspek penempatan, serta lebih berpihak pada peran kerja-sama swasta dan pemerintah. Namun, peraturan tersebut belum diterjemahkan dalam ketentuan yang bersifat operasional, khususnya terkait dengan penempatan TKI di luar negeri. Maka, pemerintah selanjutnya meregulasikan Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2002 yang meratifikasi Konvensi ILO No. 88 mengenai Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.


Pengaturan lebih lanjut tentang penempatan TKI di luar negeri diregulasikan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. KEO.104 A/MEN/2002 tanggal 4 Juni 2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, sebagai dasar penyelesaian masalah TKI di luar negeri. Kemudian, pemerintah meregulasikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Regulasi tersebut, menjadi dasar pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).


Dan BNP2TKI selanjutnya bertugas untuk memberikan jaminan perlindungan kepada TKI di luar negeri, dan pengawasan mulai dari pra-penempatan sampai dengan penempatan TKI di luar negeri oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). Bahwa jaminan perlindungan hukum bagi TKI di luar negeri, adalah komitmen nasional untuk melaksanakan koordinasi lintas regional dan sektoral, baik vertikal maupun horizontal dengan proporsi peran dan tanggung-jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BNP2TKI dan PPTKIS. Pelaksanaan kebijakan nasional pelayanan penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri juga harus bersifat menyeluruh dan terintegrasi dalam rangka kemitraan. Sebab, keberadaan TKI di luar negeri juga berpengaruh pada integritas martabat bangsa dan pemerintahan Indonesia di mata internasional.


Nah, bagaimana perisiapan pemerintah dalam penanganan permasalahan TKI kita yang masih terlunta-lunta nasibnya tanpa adanya jaminan hukum, keamanan, dan hak hidup selayaknya di daerah perbatasan Malaysia - RI? Dan, bagaimanakah pula pemenuhan hak-hak politik mereka dalam memberikan hak suaranya pada momentum Pemilu 2014 mendatang? Apakah mereka telah memperoleh program sosialisasi dari KPU, KBRI, atau KJRI, ataukah Panwaslu, tentang mekanisme Pemilu 2014 di daerah-daerah pelosok pedalaman Malaysia? Apakah identitas mereka juga telah masuk dalam DPT yang berpolemik itu? bagaimana pun juga, para TKI adalah bagian yang tak terpisah dari integrasi statistik kependudukan WNI, bukan? Selain jadi “Pahlawan Devisa Negara”, adakah pemerintah memperhatikan hak hidup mereka dan keluarganya di daerah-daerah rawan konflik dengan aparat keamanan Malaysia? Hm, terbayang pula bagaimana nasib para Jakon di Suriname pada masa Hindhia Belanda dahulu, hanya air mata, kepedihan, perih harap dalam sekarat. Semoga, pemerintah tak melupakan eksistensi sosiologis dan hak hidup mereka, itu saja.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/30/refleksi-historis-jakon-hingga-tki-614384.html

Refleksi Historis Jakon Hingga TKI | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar