Setelah Rasulullah saw wafat, ada orang-orang Islam yang sengaja meninggalkan jenazah Rasulullah saw dan berkumpul di Saqifah memilih seseorang untuk dijadikan pemimpinnya. Mereka ini terdiri dari para sahabat senior dari Anshar dan Muhajirin.
Dari Saqifah muncul khalifah Abu Bakar yang memerintah Madinah setelah Rasulullah saw. Abu Bakar bin Abi Quhafah menjadi khalifah hasil musyawarah terbatas di Saqifah Bani Saidah. Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar bin Khaththab menjadi khalifah didasarkan pada wasiat Abu Bakar yang surat wasiatnya ditulis oleh Utsman bin Affan. Ketika Umar akan meninggal dunia segera membentuk dewan formatur (ahlu al-aqdi wa al-halli) yang diketuai oleh Abdurrahman bin Auf dan memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah Islam setelah Umar. Setelah Khalifah Utsman bin Affan wafat, kaum Muslim Madinah memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah Islam secara langsung di Masjid Nabawi.
Masa khalifah sahabat yang empat tidak ada pola yang baku dalam menentukan cara pengangkatan atau syarat-syarat yang layak untuk menjadi khalifah. Hal ini kemudian menjadi bahan kritik dari Thaha Husein, mantan Menteri Pendidikan Mesir, bahwa dalam Islam Sunni (Ahlussunnah) tidak memiliki sistem politik dan pemerintahan yang jelas.
Saya pernah diberitahu bahwa Islam memiliki sistem syura dalam menentukan kepemimpinan dan memiliki ahlu ikhtiyari (tim penasihat) dalam menata kehidupan msayarakat. Jika benar mempunyai sistem tertulis tentang syura pasti kaum Muslim yang hidup pada masa Utsman bin Affan akan menggunakannya. Setidaknya untuk menyimpulkan sebuah keputusan agar tidak terjadi berbagai pertentangan. Ketika diselidiki ternyata tidak ada kejelasan sistem, tidak ada ketentuan siapa yang berhak dipilih, dan siapa yang menjadi pemilih. Bahkan tidak ada aturan, batas-batas yang mengatur peserta, dan kriteria untuk mendahulukan satu pendapat di atas pendapat lainnya.
Bahkan yang menarik setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra berkuasa, pemerintahan dipegang Muawiyah bin Abu Sufyan. Tidak merujuk kepada model sebelumnya, malah membuat sebuah kerajaan besar yang diwariskan turun temurun. Begitu juga Dinasti Abbasiyah sampai pemerintahan Turki Utsmani pun berbentuk kerajaan. Juga Arab Saudi yang merupakan pewaris dua kota suci: Makkah dan Madinah pun berbentuk kerajaan.
Karena itu, saya kadang bertanya: benarkah Islam punya sistem politik dan bentuk pemerintahan tersendiri? Biasanya orang akan merujuk masa Rasulullah saw. Namun, zaman Nabi pun tak jelas kalau diuraikan bentuknya karena bersifat kolektif dan demokratis. Saya kira Islam itu tidak punya bentuk dalam pemerintahan, hanya memberi nilai saja dan melapisinya dengan syariat Islam. Tentu dalam urusan syariat ini juga kalau diuraikan akan terjadi perdebatan lagi.
Sekarang ini kita mendengar, Polwan diberi kebebasan untuk pakai jilbab. Tentu bukan sebuah upaya Islamisasi karena lembaga-lembaga pemerintahan Indonesia milik semua warga dan untuk seluruh rakyat Indonesia.

0 komentar:
Posting Komentar