promosi bisnis online gratis

Tari, Ekspresi Budaya


Ahmad Jauhari


Kebudayaan, menurut Jürgen Habermas merupakan satu bentuk ekspresi manusia yang melahirkan paradoks. Satu sisi, ia merupakan lahan bagi manusia untuk aktualisasi sebuah kebebasan. Dengan budaya, manusia bisa mencurahkan segala kegalauan hatinya. Di sisi lain, ia menjadi tempat pelindung yang dipakai manusia atas tingkah ganas dari alam.


Dalam kawasan budaya, ekspresi manusia untuk menyalurkan hasrat kebebasannya bisa beragam-macam. Satu di antara sekian banyak ekspresi itu—termasuk teater, lukisan, pantomin, wayang, film, seni pahat, fotografi, komik, novel, musik, puisi dan sebagainya—adalah lewat gerak tubuh. Tentunya, dalam gerak tubuh tidak asal bergerak. Sekurang-kurangnya, dalam setiap budaya yang mengekspresi gerak tubuh, ia mempunyai ciri khas masing-masing. Misalnya, gerak tubuh dalam budaya Bali, “kaki kita harus menancap bumi dan mata memandang langit”.


Gerak tubuh itulah yang dinamakan dengan tari. Dalam satu pengertian, tari merupakan satu bentuk kegelisahan manusia atas realitas yang dihadapinya. Tari bisa jadi ekspresi pemberontakan terhadap tradisi yang mengungkungnya. Itu bisa dilihat dalam Abai-Abai Nan Sakti dan Dongeng berlari, karya pertama Boi G. Sakti—penari yang lahir di Batusangkar, Sumatra Barat, 4 agustus 1966, dengan nama asli Yandi Yassin. Lelaki bertubuh tinggi, besar, dan gempal ini menggubah seni tari tradisi Minang yang dimodifikasi dengan bebas. Gerakannya dinamis, lincah, rancak, menggeliat-liat; bak ular kobra, mengalir cepat, sahut-menyahut, yang seolah tak memberi penonton menarik nafas. Upaya membongkar dominasi adalah satu bentuk jalan melanjutkan daya kreativitas manusia yang diberangus habis oleh sebuah kekuasaan dalam pelbagai bentuk.


Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Inul Daratista, dengan gaya bergoyang “ngeboor-nya”, yang mencoba menggubah goyang dangdut, tidak sama dengan pendahulunya, dihunjami kritik yang cukup pedas dari berbagai kalangan. Ini menandakan bahwa, setiap manusia selalu tidak puas dengan apa yang diperolehnya kini, dan mencoba mendayagunakan kreativitasnya demi sebuah pengetahuan, dengan sifatnya yang enigmatik (semacam teka-teki yang berkesinambungan).


Asumsi dasar dari pengetahuan seni tari adalah gerak tubuh merupakan bentuk ekspresi kebudayaan dan kepribadian tertentu. Kebudayaan itu lebih bersifat kolektif. Kepribadian lebih dekat pada ekspresi individu. Secara metodologis, dalam bentuk kolektif, tari Pendet dalam budaya Bali, misalnya, dianggap sebagai dasar untuk belajar tari Bali lainnya. Tetapi, di Jakarta tari Pendet bisa meluas dan tak jarang melampaui ritual dengan apa yang diajarkan di Bali.


Secara kepribadian, diwakili, misalnya oleh Miroto, seorang penari lahir di Sleman, Yogyakarta, 23 Februari 1959. Ia dikenal sebagai salah seorang penari Jawa alusan gaya Yogyakarta yang kuat. Sampai kini ia masih menjadi penari istana Yogyakarta. Ia aktif dalam garapan-garapan klasik, misalnya pagelaran golek menak. Miroto pun mencoba mengelaborasi tarian Jawa dengan seni kontemporer. Muncullah dua tari tunggal pendek karyanya berjudul Penumbra dan Incarnation, diciptanya di Universitas California, Los Angeles. Penumbra mengambil penari putri jathilan, sebelum kuda kepang trance. Bertopeng panji putih, dengan topi kerpus, tubuhnya dibungkus rok putih panjang terusan. Dua kakinya seolah menunggang kuda. Sederhana tapi bertenaga.


Ekspresi semacam itu, membuktikan seni tari adalah satu realitas manusia yang mencoba menyeberang dari satu tradisi ke pakem yang lain—bisa jadi mengudarinya, dari budaya satu ke budaya lain, dari ekspresi satu ke curahan yang lain. Dengan begitu, seni tari dapat, dalam satu arti, menjelajah keberbagai tingkah, ekspresi, curahan kegalauan lintas budaya. Sehingga, membentuk sikap toleransi terhadap ekspresi kebudayaan manusia lain.


Toleransi itu terejawantahkan dalam bentuk keberanian untuk berkomunikasi. Manusia menjadi sadar bahwa kekerasan, dalam mengkomunikasikan masalah, adalah makhuk yang menjijikan. Manusia jijik terhadap kekerasan, bukan karena keharusan, melainkan karena kejijikan itu inheren dalam kebudayaan dan kepribadiannya. Akhirnya, ia insyaf bahwa kehidupan lebih baik dari kematian (***)



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/29/tari-ekspresi-budaya--614304.html

Tari, Ekspresi Budaya | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar