PEMILU saya maksudkan di sini adalah Pemilihan Umum (Pemilu). Diadakan setiap lima tahun sekali. Azas Pemilu terbuka. Istilah umum pesta demokrasi. Menyambut pesta lima tahunan itu, di negara kita sejatinya bekerja setiap hari, badan bertajuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bila di negara lain urusan Pemilu terkadang hanya diurus satu badan statistik saja, di kita bertambah-tambah. Selain KPU, ada Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu). Masih kurang, badan itu, ditukuk lagi dengan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Sosok yang dudduk di lembaga itu tak kurang doktor-doktor.
Di tiga lembaga itu juga melibatkan ongkos kantor, ongkos gaji dan operasional bertriliun-triliun. Triliunan rupiah itu, semua, uang rakyat. Masih kurang lengkap, perlu lagi lembaga berbiaya mahal didirikan, seperti Mahkamah Kosntititusi (MK). Di MK, antara lain diuji kasus hukum Pemilu. Singkat kata banyak lembaga untuk pemilu Luar biasa triliunan rupiah harus tertumpah.
Sayangnya semua kenyataan kebendaan di atas, tidak diisi oleh manusia memiliki “software”, dalam hal ini punya kesucian hati memegang teguh azas keterbukaan.
Belum lama ini kita menyimak bagaimana Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), akan dilibat ke KPU untuk urusan melakukan enskripsi Pemilu. Itu artinya melakukan pengamanan, penutupan data, sehingga pihak luar tak bisa mengikuti perubahan hashing data, pergeseran digital signature.
Walaupun akhir pekan ini kita menyimak di media bahwa Lemsaneg telah menyatakan mundur dalam Pemilu, bukan berarti urusan ketertutupan dan menutup azas keterbukaan itu akan aman-aman saja.
Mengapa?
Karena ada azas lain di politik.
Apa itu?
Kekuasaan harus direbut. (Baca dengan segala cara)
Untuk merebut kekuasaan, segala cara harus dilakukan. Termasuk dengan membuat banyak lembaga pelaksana berguna seakan-seakan.
Ya, seakan-akan kita berdemokrasi.
Dalam prakteknya, sebagaimana diistilahkan oleh Nasrullah, salah satu Komisioner Bawaslu, “Demokrasi kita baru dalam taraf Demokarsi Prosedural.”
Maka berprosedurlah namanya ursuan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Karena prosedur dari bawah seakan-seakan, ya lagi-lagi seakan-akan, sudah terpenuhi, tak peduli manusianya ada atau tidak, yang penting prosedur sudah ditempuh, maka kajiadianlah ada 800.000 DPT deretan nama manusia di Papua, orangnya, manusia riilnya, sama sekali tiada. DPT ganda di banyak propinsi bukan satu dua, jumlah tak berkira.
Selain DPT menjadi persoalan, pengalaman 2009, urusan pendataan di KPU melalui sisten teknologi informasi bermasalah, hingga kini laporan Bawaslu 2009, menguap di Bareskrim Mabes Polri. Mengapa menguap? Karena Polri berada di bawah presiden, dan presiden incumbent punya kepentingan melanggengkan kekuasaan.
Kembali ke urusan kekuasaan harus direbut di atas.
Kebetulan saya salah satu sosok diajak berkeling oleh Bawaslu, menjadi pembicara untuk kalangan Jurnalis, bicara soal jurnalisme dan peran jurnalis Menggalang Pemilu Partisipatif. Dari perjalanan berkeliling itu, saya banyak dibukakan mata kawan-kawan mantan KPUD. Mereka membekali saya dengan istilah apa yang disebut sukses internal dan sukses eksternal.
Sukses internal itu adalah, menyukseskan pesanan jago caleg yang harus dimenangkan. Permainannya di PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan). Hitungan ulang di tingkat PPK, dimulai dengan kecurangan, mulai dari memberi warna ikatan karet tertentu untuk tanda kertas suara untuk seseorang, hingga merusak kartas suara dengan kuku sosok tidak diorder dimenangkan.
Kepada saya, dominan anggota DPR saat ini mengatakan biaya sosialisasi mahal. Hal itu termasuk biaya menjaga suara di PPK, hingga KPUD, KPU. Seorang kawan saya anggota DPR kini, sudah meluncurkan 9 mobil berbandrol wajahnya, tiga di antaranya mobil double cabin berharga di atas Rp 300 juta, kini keliling ke daerah pemilihan. Ia tanpa malu-malu menyiapkan cash lebih Rp 10 miliar. Ia mengaku pasti terpilih. Tanpa sungkan kawan itu bilang, “Ente kalau tak punya duit percuma mencaleg.”
Saya sangat paham, karena setelah jadi anggota DPR, beragam kenikmatan didapat anggota DPR kita itu. mulai Asuransi Kesehatan Platinum, rumah dinas, uang saku ini itu, uang reses, uang sidang, hingga kesontoloyoan mendapatkan pensiun. Di balik itu ada juga penguasa ingin berkuasa terus telah menambun uang dan segala cara niat kepicikan, termasuk menempatkan “orang-orang”-nya di semua lembaga terlibat di Pemilu.
Di benak dan hati mereka kekuasaan memang harus direbut.
Bila sudah demikian adakah demokrasi bak diamanatkan Pancsila?
Tidak ada, Saudara!
Yang ada kini berpemilu diisi oleh orang-orang berhati batu. Hati membatu itu mereka kemas dengan pikiran picik rakus berkuasa berkedok demokrasi prosedural.
Rakyat?
Hanya alat.
Hanya suara.
Hitungan angka bisa bisa dibeli.
Maka selamat menikmati menuju hari-hari berpemilu berhati batu, berdemokrasi seakan-akan.
@iwanpiliang Citizen Reporter

0 komentar:
Posting Komentar