Kemarin, seorang teman mengirim pesan kepada saya via inbox facebook. Ia memprotes saya karena menulis tentang dokter yang sedang demo, “Jangan urusan dokter mogok kalian usut, urusan perawat hamil dihukum lari (berlari, red) dan disiram air kolam kalian pers diam.”
Saya kaget, nadanya begitu marah. Tapi saya tak mau kalah. Saya bilang, dokter jangan sampai mengaku diri bukan Tuhan, tapi serasa menjadi malaikat. Harus bisa menerima kritik. Tapi belakangan dia mengklarifikasi maksud dari apa yang ia sampaikan. Bahwa ia hanya ingin saya dan teman-teman wartawan tidak sibuk dengan memberitakan dokter, tapi lupa pada tindakan kriminal oleh warga maupun dokter terhadap Perawat. Rupanya maksud perawat hamil tadi, adalah perawat yang dihukum disuruh lari oleh Direktur RS.
Dan membuat saya kaget, ketika dia mengatakan, dia muak melihat dokter-dokter yang ada saat ini. Kemuakan itu, karena adanya Dokter tidak dirasakan oleh masyarakat yang ada di daerah-daerah. Padahal desa sangat membutuhkan tenaga medis yang mumpuni. Sebab, di desa-desa banyak yang masih mempercayai dukun, di desa-desa karena biaya terbatas akhirnya lebih memilih mendiamkan si sakit di rumah, dan banyak kendala lain sehingga tindakan medik tidak dirasakan oleh masyarakat.
Seringkali kita mendengarkan alasan, pemerintah kekurangan Dokter. Boleh jadi ini itu hanya pemanis, atau upaya dokter untuk menghindari penugasan di daerah-daerah, sebab mungkin jaraknya jauh, resiko jauh dari keluarga, pendapatan yang minim dan alasan lainnya. Padahal bila dicermati, poliklinik yang dibuka oleh dokter di kota-kota bertebaran. Sementara Pusat Pelayanan Kesehatan Desa (Puskesdes) atau PUSTU hanya bangunan kosong tanpa satupun makhluk hidup di dalamnya kecuali serangga. “Kira-kira mereka mau dibayar sama masyarakat dengan satu ekor ayam, seperti Mantri!” tekannya.
Desa saya, Kalukubula, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang wilayahnya merupakan perbatasan Sigi dan Kota Palu, terdapat 10 ribu lebih penduduk, wilayahnya pun sangat luas. Tapi sayang, Poskesdesnya juga tidak aktif sudah lebih 10 tahun. Apa tah lagi mereka yang ada di desa-desa lainnya.
Karena ketiadaan dokter itulah, perawat terpaksa harus memutuskan untuk tindakan medik. Di benak mereka, siap terima resiko untuk nurani kesehatan masyarakat. Mereka rela berpeluh-peluh, naik turun gunung, menyusuri hutan dan pematang sawah, atau di saat mereka kerja di kantor pun kadang mesti bergegas pulang hanya untuk menuruti panggilan dari warga karena ada yang jatuh sakit. Namun sayangnya tak sedikit dugaan malpraktek, kelalaian, salah memberi obat disematkan kepada mereka. Lantas ini salah siapa?
***
Saya pun share ke dia, tentang apa yang saya pikirkan, boleh jadi ini salah. Tapi dia hanya tertawa dan mendiamkan pemikiran saya. Saya menganggap Perawat adalah “Pembantu” Dokter. Kalau begitu, Pendidikan kita sudah membentuk kasta. S1 pada Akper akan menjadi pembantu dari S1 pada Fakultas Kedokteran.
Saya memang berpikir demikian, sebab, bukan rahasia lagi biaya termahal pada pendidikan di kampus adalah pada Fakultas Kedokteran. Pemandangan elitis begitu mencolok jika kita jalan-jalan ke Fakultas Kedokteran. Meskipun ada beasiswa kepada mahasiswa miskin, tapi itu masih bisa dihitung jari. Mungkin karena itu pula jiwa kepedulian terhadap orang di bawah cenderung lebih sedikit dibanding perawat yang lahir dari kelas menengah maupun miskin.
Ditambah, dogma yang selama ini ditanamkan di masyarakat kita, bahwa dokter adalah pekerjaan paling populer selain polisi ataupun tentara. Dulu ketika kita masih kecil, jika ditanya cita-cita, banyak yang ingin jadi dokter karena dianggap “paling keren”.
Kepongahan itu berlanjut pada pekerjaan di lembaga kesehatan. Dokter menjadi Bos, perawat menjadi tenaga lapangan. Dokter gajinya tinggi, Perawat dibawah UMR. Dokter styles, perawat urakan. Baju dokter putih bersih, baju perawat kekuning-kuningan. Dokter di dalam ruangan, perawat di luar ruangan mendengar keluh kesah dan makian.
Padahal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor HK.02/Menkes/148/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Pasal 8 ayat (3) “Permenkes menyebutkan praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer”. Maka dari pasal tersebut menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri (independent). Ada beberapa juga aturan tindakan medik dilakukan oleh Perawat atas izin dokter, atau memang darurat. Tapi semua perlu regulasi yang jelas.
Undang-undang Praktik Keperawatan perlu didorong lagi. Pemerintah dan DPR perlu mengatur secara tegas tentang hak dan kewajiban perawatan dalam melakukan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit, puskesmas, sarana kesehatan lain dan masyarakat. Dengan adanya undang-undang itu maka Dokter pun dituntut berperan di masyarakat.

0 komentar:
Posting Komentar