Mungkin gambaran disamping terlalu hiperbolis untuk menggambarkan betapa luar biasanya aktivitas sehari-hari menikmati transportasi publik yang bernama busway. Tetapi hal yang utama yang saya ingin sampaikan dalam hal ini bukanlah persoalan kepadatan Jakarta dan minimnya fasilitas transportasi publik yang kita miliki. Menariki sepertinya jika kita menyoroti para mereka-mereka yang menjadi pengguna transportasi publik yang satu ini yang kemudian kita kenal sebagai transjakarta busway.
Mengapa saya mengangkat topik ini? Mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya apa maksudnya bus-filosofis. Sebenarnya sederhana saja karena saya adalah salah satu pengguna dan pencinta transportasi publik yang satu ini. Sudah lebih kurang lebih sejak busway pertama kali dijalankan di kota Jakarta sekitar tahun 2006 atau 2007 (tolong koreksi jika saya salah) saya cukup menikmati walaupun pada waktu itu saya tidak sesering sekarang menggunakannya berhubung saya belum menetap di Jakarta jadi banyak mondar mandiri Jakarta dan luar kota.
Apa alasannya saya sebut bus-filosofi? Saya dalam hal ini juga bukan sedang mengangkat filosofi adanya busway atau mengapa busway perlu diadakan di Jakarta, tetapi menarik untuk disimak dan mungkin jarang diperhatikan apa saja yang dilakukan orang-orang saat menikmati perjalanan busway. Ternyata terlibat sebagai penumpang sekaligus pengamat dan pemerhati sosial menarik juga melihat perilaku psikologis yang dimunculkan dari setiap orang.
Bus-filosofis adalah istilah yang saya gunakan untuk menyingkapkan pemahaman dasar setiap insan dibalik kehidupan ini dari perilaku fisik maupun psikologis yang ditampilkan sepanjang perjalanan busway (hal ini tidak menutup kemungkinan transportasi publik yang lain seperti KRL dan angkutan umum lainnya tetapi berhubung saya pengguna busway adalah lebih tepat menggunakan sudut pandang busway). Tentu bagi mereka penggunaan transportasi publik yang satu ini tidak sedikit mengetahui begitu ragam perilaku yang ditampilkan para penumpangnya. Tentu kita sering melihat ada dari mereka dan hampir kebanyakan berusaha untuk tidak tahu menahu apa yang terjadi dengan sekitar dengan memasang headset dan memutar musik sekeras-kerasnya ditelinga sendiri tentunya, tapi mungkin dia tidak sadar bahwa penumpang sebelahnya ternyata mendengarnya contohnya saya sendiri. Ada pula yang dengan asyiknya sambil senyum-senyum sendiri ternyata dia sedang asyik dengan chat bbm or we chat or what’s up or kakao talk or sms mungkin bahkan tidak dapat disebut satu per satu. Bahkan, ada mungkin galau sendiri dengan memasang muka sedih, muka marah, ngomel-ngomel sendiri ketik kesenggol atau sejenisnya yang lain. Itu saya yakin adalah perilaku-perilaku yang nampak yang mungkin rekan pembaca juga pernah melihat atau bahkan alami sendiri. Namun demikian, sejak satu tahun ini saya jadi tertarik untuk menelitinya dan mengamati setiap perilaku tersebut dengan seksama. Ada beberapa kategori yang saya dapat ketika memperhatikan perilaku-perilaku ini dan semuanya tidak lepas dari filosofi dan mindset yang sudah tertanam jauh sebelumnya baik dari sejak kecil ataupun sejak berangkat dari rumahnya. Kategori tersebut antara lain sebagai berikut:
Beban kerja
Kebanyakan orang berangkat dengan beban kerja yang sudah berat sekalipun belum menghadapi pekerjaan (terutama nampak sekali pada hari Senen). Tidak sedikit kebanyakan orang jika tidak demi uang mereka berangkat dengan sangat berat hati dan sudah berkeluh kesah. Salah satu keluh kesah yang paling utama adalah dalam diri mereka adalah beban pekerjaan yang akan dijalankan. Hal yang lain menghadapi pimpinan yang mungkin suka marah-marah dan tidak puas dengan pekerjaan kita. Satu hal lagi yang pasti tidak dipungkiri adalah meninggalkan keluarga seharian, karena jika dia berangkat subuh maka dijamin dia baru paling cepat sampe rumah sore hari bahkan dengan kemacetan Jakarta mungkin malam hari dengan segala keletihan tiba di rumah.
Filosofi bahwa bekerja adalah suatu beban (untungnya saya menyukai pekerjaan saya ^_^) dan bukan sebagai panggilan hidup itulah yang nampaknya sudah melahirkan satu perilaku tertentu ketika dalam perjalanan dan salah satunya ketika mengendarai busway. Dengan tingkat kepadatan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan maka berbagai reaksipun muncul dalam diri penumpang tersebut. Mungkin ekspresi marah, mudah tersinggung, dan bahkan melarikan diri dari berbagai masalah dengan bermain dengan gad getnya. Tidaklah heran kemudian ada sebagian besar orang ketika naik busway seolah menjadi cuek dan tidak peduli dengan orang lain termasuk ketika ada wanita hamil atau orang tua yang harusnya mendapat kursi prioritas. Seolah dalam mindset nya, “Siapa yang mau peduli ama gue, udah dikantor banyak kerjaan, dimarahin bos, dirumah anak atau istri ribut mulu minta uang udah mending gue tutup telinga dan tutup mata aja di busway sambil denger musik.”
Tidak ada yang bisa dipercaya
Salah satu filosofi hidup yang kemungkinan besar dimiliki para pengguna transportasi publik adalah semua orang tidak ada yang bisa dipercaya (mungkin agak hiperbolis dan belum tentu semua tetapi sebagian besar memahami hal ini). Perhatikan awalnya saya pikir kenapa orang-orang dengan tas punggung jika di busway di taruh di depan dadanya bukan di punggung kan namanya juga tas punggung. Awalnya saya pikir biar tidak mengganggu penumpang lain dengan kepadatan transjakarta yang seperti itu. Memang benar alasan ini, tetapi ternyata ada hal yang lebih mendasar di transportasi publik semacam busway yang padat itu tidak banyak yang tahu ada orang di sekitar kita sedang melakukan tindak kejahatan (contohnya saya sendiri dimana tas saya pernah ada yang menyayat bagian bawah tas tapi buat saya ini anugerah Tuhan satu pun barang berharga saya dalam tas saya tidak ada yang hilang, mungkin pas dia sayat dia bingung mana mas berlian saya ^_^).
Tidak heran jika kemudian ketika satu orang mengajak ngobrol atau bertanya sesuatu kepada penumpang lain muncul perasaan curiga dan menjawab dengan acuh. Sebagai contoh ada orang yang bertanya, ” Ke kampung melayu ya bang?” maka orang yang menjawab akan dengan ketus jawab wah saya gak tahu tanya aja petugasnya. Padahal dia sendiri emang turun di Kampung Melayu, tapi karena modus kejahatan di Indonesia khususnya Jakarta makin beragam dan menggila maka banyak orang kemudian pasang kuda-kuda dengan acuh tak acuh. Filosofi semacam ini pula yang kemudian membuat sebagian besar orang kemudian lebih asyik berkomunikasi dengan dunia maya daripada dunia nyata yang unpredictable dan sulit untuk dipercaya. Bahkan filosofi semacam ini mungkin sadar tidak sadar telah membuat orang lebih banyak punya teman di dunia maya dibanding di dunia nyata. Saya jadi ingat waktu jaman papa saya almarhum sekitar tahun 90an dimana saja dia bisa punya teman baru dari interaksi di pasar, ngajar di kampus, jalan di alun-alun wah sungguh suatu masa yang mengasyikan dan memorial.
Instan dan pragmatis
Saya yakin sebagian besar sosiolog berpandangan yang sama bahwa saat ini kita memasuki suatu jaman yang serba instan dan pragmatis. Kecepatan dan kemajuan teknologi telah membuat manusia berpikir sederhana, melakukan yang cepat dan ambil jalan pintas. Filosofi semacam ini ternyata berpengaruh dan nampak juga ketika kita ada dalam kerumunan ramai seperti transjakarta. Bagaimana tidak berapa banyak orang yang membicarakan aktifitas pekerjaan dan cara mencari uang di transportasi publik. Sebagian besar dari mereka bukan membicarakan bagaimana menghasilkan pekerjaan yang sempurna atau maksimal tetapi lebih banyak berapa besar income, kapan harus pindah, pekerjaan yang membosankan, dan sejenisnya. Ungkapan-ungkapan emosi pun banyak kita dengar dari secara langsung mengajak kita bicara sampai berbicara sendiri (mungkin sudah pada tingkat stress yang tinggi sampai-sampai tidak menyadari bahwa dirinya berbicara sendiri).
Bahkan budaya dengan jelas nampak dalam penggunaan gadget yang sekarang marak sekali dimiliki sebagian besar anak muda. Tidak hanya itu saya pun pernah melihat ibu-ibu umuran setengah baya tidak kalah ikutan memakai sejenis blackberry. Hampir sebagian saya pernah melihat chatting orang-orang ini tanpa sengaja (tidak bermaksud melihat tapi salah sendiri chatting pas naik busway lagipula kan saya cukup tinggi ketika berdiri jadi cukup jelas bisa melihat chating orang-orang ini) berisi obrolan kenalan dengan baru. Obrolan itu bisa terjadi antara lawan jenis bahkan sejenis (mungkin dia gay/homoseksual) baik sekadar perkenalan sampai obrolan percintaan yang berujung kalimat-kalimat mesum. Dapat dikatakan dunia yang penuh beban ini lebih baik dialihkan sementara dengan percakapan fulgar yang mungkin menyegarkan bahkan karena paradigma pragmatis, orang-orang ini bisa saja bertemu dan benar-benar menyerahkan tubuhnya sesuai dengan percakapan fulgar dalam media sosial mereka.
Kehidupan instan yang menghasilkan kepuasaan sesaat dari beban hidup orang-orang jaman sekarang khususnya di kota metropolitan membuat banyak orang tidak berpikir panjang dan mengambil keputusan yang pragmatis. Padahal luka yang ditimbulkan menjadi lebih dalam karena ketika mereka dikecewakan dengan kata lain ditipu dengan kata-kata chating di media sosial akan semakin membuat hidupnya terluka. Tidak heran jika salah seorang dosen saya yang kebetulan seorang psikiater mengatakan 60 persen orang Indonesia sudah dalam ambang depresi. berarti cuman 40 persen saja yang waras dan jangan-jangan bisa nambah.
Identitas diri dan kedewasaan
Ternyata menjadi diri sendiri merupakan perihal yang gampang-gampang susah. Secara logika teori psikologi mungkin sudah banyak memberikan jawaban mengenai perkembangan self identity seseorang. Namun demikian, kenyataannya begitu banyak orang sampai pada usia tertentu didapat sebenarnya belum menemukan identitas dirinya dengan matang. Perhatikan emosi dan perilaku psikologis tertentu yang ditunjukkan ketika sebagian besar penumpang transportasi publik dalam kepadatan dan kesesakan. Hal yang sangat berbeda ditunjukkan ketika kita naik busway yang sedang sepi atau bahkan kosong. Manusia secara situasional emosi dan kepribadiannya begitu mudahnya dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Walaupun demikian perhatikan ada sebagian orang yang ternyata tetap konsisten perilaku emosi dan kepribadiannya dalam menghadapi hal ini. Tidak sedikit dari mereka dapat menghadapi realita-realitas dan keterkejutan-keterkejutan yang muncul saat naik busway. Salah satu keterkejutan ketika busway stagnan tidak bergerak karena macet, berapa banyak penumpang ngomel-ngomel atau menggerutu karena takut telat. Namun dari sekian banyak orang yang berperilaku demikian ternyata ada yang tetap tenang karena dia sudah prepare waktu dan siap menghadapi berbagai gejolak di kota Jakarta yang upredictable. Inilah yang saya pahami sebagai penemuan identitas diri dan kedewasaan hidup. Saya bahkan malu terkadang ada anak kecil yang jauh lebih dewasa dengan menghadapi kepadatan dan kemacetan Jakarta dengan tetap tenang. Mungkin tidak dipungkiri karena anak kecil tidak mengerti akan hal tersebut, tapi jangan lupa bukankah jika hidup kita seperti anak kecil ini justru lebih sehat dan tenang untuk menyelesaikan berbagai problem. Tidak mungkin dengan menggerutu kemudian kemacetan Jakarta teratas yang ada semakin macet pasti karena semua orang akan semakin merebut kepentingan mendahului satu sama lain.
(to be continue)

0 komentar:
Posting Komentar