Entah sudah berapa tulisan lahir dari kontroversi putusan MA atas kasus dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, sehingga ribuan dokter melakukan aksi “solidaritas” di pelbagai daerah. Pribadi hanya bisa geleng-geleng kepala. Kental terlihat, bahwa cara pandang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berawal dari kesalahan berpikir. Kesalahan berpikir yang saya maksud adalah Fallacy of Dramatic Instance yang cenderung over-generalisatuon.
Fallacy sebagai poin pertama sisi lain kasus dr Ayu, dipahami sebagai kesalahan berpikir yang mengeneralisasi masalah, menimpakan dan melampiaskan akibatnya kepada lawan atau orang lain. Ketika dr Dewa Ayu cs ditahan, “ini penzalaiman terhadap dokter,” kata senior IDI. Padahal jelas, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani adalah dokter, tapi yang dokter belum tentu bernama dr Dewa Ayu Sasiary Prawan. Akibat kesalahan itu, para dokter menimpakan pelampiasannya dengan mogok yang efeknya terhadap masyarakat. Padahal, kekecewaannya terhadap putusan hakim MA.
Kedua: Tahun 2009, MA menolak kasasi Artalyta Suryani. Mirip yang terjadi pada Januari 2012, kasasi terhadap Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin, dikabulkan. Akhirnya dipenjara 4 tahun atas kasus korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan senilai Rp21 miliar. Demikian pula pada 20 November 2013, kasasi KPK atas Angelina Sondakh, dikabulkan MA. Masih banyak, terdakwa yang menjadi korbannya. Uniknya, semua persidangan itu dipimpin oleh hakim Agung berdarah Madura, Artidjo Alkostar.
Saya masih ingat, ungkapan teman saya ketika kasasi KPK atas mantan putri Indonesia sehingga membuatnya menangis, seorang teman saya yang kebetulan dokter gigi berkata, “Andai semua hakim seperti dia, Baharuddin Lopa punya pengganti.” Hal senada, pasca keputusan itu, banyak tulisan bahkan dari sentuhan tust seorang dokter mendukung sikap sang hakim. Indonesia butuh hakim kuat dan tegas!.
Ketiga: Dari awal saya melihat kisruh yang merugikan masyarakat dan membuat dokter negara tetangga bertepuk tangan, bukanlah kejadian sederhana. Insting kecurigaan saya tiba-tiba terpacu mungkin karena emboli. Apakah kasus mallpraktik mencurigakan baru kali ini terjadi?. Kenapa IDI, juga Menteri Kesehatan terkesan habis-habisan membela ?. Lalu siapa dr Hendy Siagian, yang sampai hari ini tak mau dikatakan buron?.
Sayang belum ada satu penelitian pun yang mencoba mengurai, kekuatan apa yang mereka miliki sehingga jiwa korsa para dokter muncul, gesit, cepat, dan mungkin beda ketika menangani pasien. Siapa dr Ayu dan siapa-siapa di IDI. Saya tidak akan mengira-ngira lebih jauh untuk hal ini. Lebih baik mencoba mengurai sisi lain yang kans-nya juga besar, seperti dalam poin keempat.
Ilustrasi sumber: nasional.kompas.com
Keempat: Apalagi kalau bukan ranah politik. Menyambut pemilu 2014, pimpinan kesatuan, lembaga, organisasi yang pandai memanfaatkan organisasinya bisa menjadi perhatian dan pilihan untuk dilirik kandidat. PGRI misalnya, fakta membuktikan pendekatan dengan tunjangan sertifikasi membuat guru tergugah dan memilih di pentas 2009, dan berpengaruh. Demikian pula organisasi besar lain, yang tak mungkin saya ungkap satu persatu.
Lalu bagaimana dengan IDI?. Dalam kacamata politis, tak salah jika pimpinan sebuah organisasi lebih memperdalam dan memperluas geraknya melalui kiprah politis. Selama ini, IDI belum mendapat lirikan manis dari kandidat, tidak seperti organisasi profesi, atau organisasi kemasyarakatan lain. IDI harus dilirik terlebih dahulu. Jangan sepelekan kami, karena kami pun memiliki anggota yang memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Struktur kami jelas, postulat !.
Tulisan ini mungkin dengan mudah dinilai berpihak. Memang benar, saya berusaha mengajak berpikir benar dan tidak mudah menghilangkan sikap kritis tanpa fallacy. Negara memberikan ruang menyampaikan anspirasi, tapi bukan berarti mengorbankan dan menggunakan cara yang keliru. Ketika Artidjo Alkostar memberatkan terdakwa lain, kita bertepuk tangan, namun tak rela jika tegas terhadap kita, menyalahkan dan membuat pikiran kita tertutup untuk berpikir terlebih dahulu. “Sesungguhnya mata, telinga, hati, akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. al-Isra).

0 komentar:
Posting Komentar