promosi bisnis online gratis

Dokter Turun ke Jalan: Dari Demonstrasi ke Demonstrasi


Di Hindia belum adanya sekolah-sekolah setingkat dengan Akademi. Satu kekecualian mungkin sekolah dokter STOVIA1. Maka aku bikin catatan khusus tentang sekolah dokter ini karena bukankah promotor-promotor kebangkitan di Asia pada umumnya bukan ahli-ahli hukum seperti halnya di Eropa, tapi justru dokter-dokter? Mungkin gerakan-gerakan kebangkitan di Eropa dipancari oleh perasaan hukum yang tersinggung. Di Asia dipancari oleh kesadaran bahwa masyarakat dan kehidupannya yang sakit harus disembuhkan. Pangemanann, dalam roman Rumah Kaca, hal. 112 Tetralogi Pulau Buru – Pramoedya Ananta Toer



Hadirnya tenaga dokter di Indonesia berawal dari kebijakan Politik Etis2 di tahun 1900. Kebijakan ini didorong kritikan dari politikus di Belanda yang melihat perlunya pemerintah Belanda memperhatikan nasib penduduk Hindia Belanda yang terbelakang. Padahal bisa dikatakan, sumber daya dari Hindia Belanda yang selama itu mendukung meningkatnya perekonomian Kerajaan Belanda.



Kebangkitan Nasional dari Para Dokter


Pemerintah Belanda kemudian mendirikan sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai menengah termasuk sekolah dokter STOVIA di Batavia. Nantinya, para dokter ini akan didistribusikan ke perkebunan-perkebunan milik Belanda untuk menjamin kesehatan dari penduduk yang bekerja di perkebunan. Politik etis ini mungkin kelihatannya hanya menguntungkan Belanda saja. Namun, melalui kebijakan ini masyarakat Hinda Belanda mendapat kesempatan untuk mengembangkan dan memperluas pendidikannya sehingga lahirlah kaum terpelajar Indonesia.



Kebijakan ini berbuah dan menghasilkan apa yang kita kenal sekarang sebagai era Kebangkitan Nasional. Pelajar-pelajar STOVIA yang mendapat didikan ala Eropa akhirnya menyadari penyakit yang terjadi di masyarakat. Penyakit yang bukan hanya penyakit fisik, tapi penyakit yang lebih sistemis dan berkelanjutan, yakni penjajahan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Kepekaan melihat kondisi masyarakat ini mendorong pelajar-pelajar STOVIA maupun alumninya yang telah menjadi dokter-dokter muda untuk bergerak dan mendemonstrasikan kegelisahannya. Subjek dari demonstrasi3 para dokter maupun calon dokter ini adalah masyarakat dan kehidupannya yang sakit dan harus disembuhkan. Para dokter turun ke jalan4, maka berdirilah Budi Utomo, Syarikat Islam, Indische Partij, dan organisasi-organisasi nasional lainnya. Tentu dalam hal ini kita tidak menutup mata atas peran dari terpelajar lainnya yang tidak berbasiskan ilmu kedokteran yang juga sangat penting dalam membentuk bangsa dan negara Indonesia.



Demonstrasi Berbasis Kedokteran


Berjalan waktu kemudian setelah kemerdekaan, demonstrasi kembali dilakukan oleh para dokter Indonesia. Demonstrasi yang dimulai oleh Dr. dr. Johannes Leimena melalui konsep Bandung Plan ini kita kenal akrab sebagai program Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Leimena melihat pentingnya fasilitas kesehatan hadir di tengah masyarakat. Kondisi saat itu di mana pusat-pusat kesehatan (rumah sakit) hanya berada di kota-kota besar, dan masyarakat di pedesaan kesulitan mendatanginya, harus diubah menjadi sebaliknya. Pusat-pusat kesehatan yang justru harus hadir di tengah masyarakat sehingga masyarakat tidak kesulitan memeriksa kesehatannya. Rencana ini didukung oleh tenaga-tenaga dokter lainnya dan kemudian kita bisa melihat ribuan tenaga dokter dan kesehatan didistribusikan ke pelosok-pelosok daerah untuk mengisi puskesmas-puskesmas yang dibangun pemerintah. Lagi-lagi ini adalah demonstrasi para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Mereka turun ke jalan demi masyarakat dan kehidupannya yang sakit dan harus disembuhkan.



Bagaimana dengan demonstrasi-demonstrasi selanjutnya? Kita mengenal dokter-dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang mendedikasikan hidupnya untuk masyarakat. Mereka mengobati masyarakat tidak mampu dan rela hanya dibayar sedikit atau bahkan tidak sama sekali. Bahkan kadang kala mereka harus mengeluarkan kocek pribadi untuk membayar obat-obatan yang digunakan pasien mereka. Sebuah tindakan dan demonstrasi tulus untuk menjawab sumpah/janji bagi masyarakat yang berusaha mereka sembuhkan.



Melihat demonstrasi para dokter yang baru terjadi saat ini di banyak kota di Indonesia, saya melihat ada satu aspek yang hilang. Selama berpuluh-puluh tahun, subjek demonstrasi yang dilakukan oleh para pakar kesehatan ini adalah masyarakat dan kehidupannya yang sakit dan harus disembuhkan. Namun pada demonstrasi yang terakhir ini, subjek tersebut kelihatannya telah bergeser. Para dokter justru melakukan demonstrasi dengan subjek dirinya sendiri, bahkan juga mengajak tenaga-tenaga kesehatan lainnya untuk turut serta. Alih-alih menyuarakan aspirasi masyarakat yang selama ini berusaha disembuhkannya ataupun mengajak masyarakat dan pasien untuk ikut berdemonstrasi membela haknya, para dokter justru seperti membuat sebuah sekat dan membedakan dirinya dengan masyarakat yang selama ini dibelanya.



Kita harus memahami permasalahan yang hendak diaspirasikan oleh para dokter yang turun ke jalan. Wajar saja para dokter menyuarakan aspirasinya. Jangan sampai setelah kasus di Manado tersebut, para dokter akan menolak untuk mengoperasi para pasien karena kuatir akan dipidana apabila operasi yang dilakukannya berujung kematian. Namun yang patut disayangkan, metode menyuarakan aspirasi yang dipilih para dokter kurang tepat dan justru menjadi bahan cibiran dari masyarakat khususnya para pasien. Koran dipenuhi berita tentang pasien yang ditelantarkan, melahirkan di toilet rumah sakit, dan berita-berita lainnya.



Pasien dan masyarakat yang harapannya memberikan rasa simpati justru berbalik menjadi antipati. Para dokter dan tenaga kesehatan lainnya justru seakan membentuk kelompok sosial yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Untungnya, masih banyak juga dokter dan tenaga kesehatan yang tidak turun demo dan tetap membuka prakteknya. Di hari tersebut, kita masih mendengar beberapa dokter melakukan operasi katarak gratis dan pengobatan-pengobatan lainnya. Itulah demonstrasi yang sesungguhnya dari para dokter. Ketika para dokter turun ke jalan demi masyarakat dan kehidupannya yang sakit dan harus disembuhkan, maka saat itu juga mereka akan ditemani oleh simpati dari masyarakat yang dibelanya.



1 STOVIA (singkatan, Bld), School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sekolah untuk mendidik dokter Pribumi


2 Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van Deventer yang meliputi: irigasi, emigrasi, dan edukasi (sumber: Wikipedia)


3 Demonstrasi (definisi, KBBI), pernyataan protes yang dikemukakan secara massal; peragaan atau pertunjukan tentang cara melakukan atau mengerjakan sesuatu


4 Turun ke jalan dalam tulisan ini tidak diartikan harafiah para dokter turun ke jalan raya melainkan dimaksud untuk menunjukkan usaha para dokter untuk keluar dari zona sehari-hari “rumah”, “tempat praktek” dan berada di “jalanan”, di tengah masyarakat untuk menyembuhkan penyakit masyarakat.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/30/dokter-turun-ke-jalan-dari-demonstrasi-ke-demonstrasi-614521.html

Dokter Turun ke Jalan: Dari Demonstrasi ke Demonstrasi | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar