promosi bisnis online gratis

Arab Saudi dan Israel Mesra: Renungan Buat PKS dalam Religeopolitik Islam Pasca Perjanjian Iran-Barat


Perjanjian Nuklir Iran-Barat di Jenewa, Swiss, bulan lalu menimbulkan gejolak besar perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Ekonomi Iran yang selama 10 tahun terisolasi mulai terbuka - perubahan yang disambut rakyat Iran. Barat pun yang megendorkan sanksi atas Iran sebagai imbalan pembatasan pengayaan uranium maksimal 5% - tingkatan pengayaan uranium paling rendah yang tak mampu digunakan sebagai bahan bom. Perjanjian interim 6 bulan di Jenewa ini bisa menjadikan pelajaran bagi Indonesia, c.q. PKS agar mampu melihat Timur Tengah secara utuh dalam nuansa damai antara Israel-Arab Saudi yang menyengat. Bagaimana memahami kemesraan Arab Saudi dalam kancah pemikiran ala Indonesia dalam perspektif religeopolitik Islam?


Sudah sejak usai perang tahun ‘67 - dengan kekalahan Pan Arab dan etnik Arab di Israel kehilangan Jerusalem Timur - perselingkuhan Israel-Arab Saudi-Amerika Serikat membangun aliansi ‘kebijakan politik seragam’ di Timur Tengah. Kebijakan Timur Tengah Arab Saudi selalu menunggu perkembangan reaksi Israel dan Amerika Serikat.


Contohnya. Terkait bangsa Arab-Palestina di Israel, Arab Saudi selalu mencari posisi PW (posisi weenak) yang menyenangkan Israel. Arab Saudi menjadi negara paling rasional setelah Mesir terkait hak-hak rakyat Palestina. Arab Saudi menyetujui dan tak mengecam pembantaian di kamp pengungsi Sabra-Shatilla oleh Israel tahun 1982 yang menewaskan ribuan orang Palestina.


Juga hak etnik rakyat Arab Palestina yang menjadi pengungsi di Syria, Tunisia, Libya, Mesir, Lebanon, Yordania, Arab Saudi, Iraq, dan sejumlah negara Teluk sejak pengusiran tahun 1970-an telah menguap dan tak pernah dibahas.


Strategi pengusiran penduduk etnik Arab di Israel dan pembangunan pemukiman oleh Israel sangat efektif. Pada saat yang bersamaan Israel mengundang pemukim Yahudi dari Eropa Timur, Etiopia, Amerika Latin, Amerika Utara untuk melakukan penyeimbangan jumlah penduduk. Palestina, suatu wilayah perwalian Inggris sejak kejatuhan Imperium Islam Turki, dihuni oleh mayoritas Arab dan minoritas Yahudi pada awalnya sebelum gerakan Zionist menang dengan mendirikan negara Israel tahun 1948.


Hak mendirikan negara Arab Palestina tahun 1947 yang dirancang yang memberi Arab 42% tanah keseluruhan Israel ditolak Pan Arab - maunya negara Israel dihapus dari muka Bumi. Kini, wilayah yang akan dijadikan negara Palestina hanya 23% dari wilayah yang ditawarkan pada 1947. Itupun wilayah dihitung termasuk jalan, tembok dan pemukiman Yahudi di dalam wilayah Palestina.


Kenapa Arab Saudi diam saja melihat perkembangan tersebut? Ada tiga alasan utama. Pertama, konflik Arab-Israel bukan tentang Islam-Yahudi. Ini konflik murni tentang tanah dan wilayah yang tumpang tindih selama ribuan tahun - belum pernah ada deklarasi negara Palestina atau Israel sampai Israel membentuk negara d wilayah yang sekarang disebut Israel-Palestina.


Kedua, rakyat Arab Palestina sejak lama bukanlah kelompok Arab murni yang memiliki ideologi keras Wahabi ala Arab Saudi. Islam-Arab Palestina baru belakangan mengeras setelah para teroris menguasai Gaza - dan sedikit Arab Saudi mengucurkan uang untuk Gaza, bukan Tepi Barat yang lebih sekuler. Namun bantuannya pun tak banyak karena harus menunggu persetujuan Israel - di samping memang tak memiliki keinginan membantu Arab Palestina yang berbeda keyakinan. Rakyat Palestina sebenarnya lebih maju peradabannya dibanding dengan Arab Saudi.

Ketiga, penguasa raja-raja Arab Saudi memiliki kesamaan ekstrimisme dalam berpikir dengan rezim Israel dalam bingkai alasan yang sama: ekstrimisme agama sebagai alasan. Yang satu, Israel membina Yahudi ekstrim, yang satu, Arab Saudi membina terorisme dan ekstrimisme Islam - dari mulai Osama, pemboman Menara Kembar WTC, Yaman, Afghanistan, Iraq, Syria, Libya, Mali - Arab Saudi mengekspor warganya menjadi kelompok pelawan pemerintah yang sah.


Di dalam negeri Arab Saudi tengah terjadi ‘revolusi diam’ yang sangat merongrong penguasa raja Arab Saudi. Sikap mendua mendukung ektrimisme di luar negeri namun membungkam gerakan melawan raja Arab di dalam negeri hanya termotivasi memertahankan kekuasaan Dinasti Keluarga Saud. Di sinilah antara lain alasan Arab Saudi bermesraan dengan Amerika Serikat.


Dalam kondisi seperti ini, Arab Saudi juga mengalami ketakutan terhadap Iran - negara paling kuat setelah Israel. Iran yang Syi’ah - sejak kejatuhan Syah Iran Reza Pahlevi tahun 1979 menjadi anti Amerika - menjadikan Iran sebagai ancaman terbesar bagi Arab Saudi khususnya penguasaan atas Mekah dan Madinah sebagai pusat Islam - yang mana Iran menghendaki kedua kota suci itu dalam genggaman Otoritas Islam Internasional sebagaimana usulan untuk Yerusalem.


Nah, dalam kondisi dalam negeri Arab Saudi, perbedaan ideologi, pertentangan antara kelompok Sunni-Syiah, kepentingan memertahankan kekuasaan Dinasti Saud - dari ancaman Iran dan kelompok radikal dalam negeri, menyebabkan Arab Saud tak ada pilihan lain selain bermesraan dengan Israel yang sama-sama memiliki musuh bersama: Iran.


Inilah yang harus menjadi pelajaran bahwa Arab Saudi - pusat pengekspor paham Wahabi seperti yang dianut oleh partai agama PKS yang presidennya ustadz Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah terlibat korupsi, PBB, HTI di Indonesia dan Ikhwanul Muslimin di Mesir - bahwa Arab Saudi menjadi sahabat Israel karena kepentingan duniawi: memertahankan kekuasaan Dinasti Saud. Jadi menggelikan sekali ketika di Indonesia banyak pihak membela Palestina dan menghubungkannya dengan Islam.


Padahal persoalan Palestina hanyalah soal perebutan tanah: soal duniawi yang tak ada hubungannya dengan sentiment agama. Maka rakyat Indonesia jangan mau dibodohi oleh partai agama PKS dan HTI serta elemen masyarakat lainnya yang mendorong kebencian antar umat beragama. Di Israel banyak hidup orang Arab dan Islam, demikian pula di Palestina banyak hidup orang Kristen, Katolik. Suha Arafat adalah penganut Yahudi. Jadi PKS dan kaum radikal belajarlah dari Arab Saudi yang mencintai Israel dan Amerika. Kemesraan Israel-Arab Saudi adalah realita perubahan religeopolitik kekuatan di Timur Tengah.


Salam bahagia ala saya.





sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/01/arab-saudi-dan-israel-mesra-renungan-buat-pks-dalam-religeopolitik-islam-pasca-perjanjian-iran-barat-615590.html

Arab Saudi dan Israel Mesra: Renungan Buat PKS dalam Religeopolitik Islam Pasca Perjanjian Iran-Barat | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar