(Tanggapan, Bukan Tentangan, Dari Artikel Bapak Nararya)
“ Menarik Pak ulasannya. Empat implikasi yang Bapak kemukakan untuk konteks kekinian menurut saya sudah tidak bisa “hanya” sebatas regional. Fenomea pemberian penghargaan pada SBY beberapa waktu lalu mengentalkan hal itu. Mudahnya akses informasi secara global, intrik politik, kepentingan SDA juga bisnis, dll mengaburkan setiap inti permasalahan kasus intoleransi di dunia. Begitupun dengan jumlah penganut, sangat sulit untuk menjadi penentu (kepastian) jika jumlah X berpotensi mendiskrimininasi jumlah Y.”
Paragraf di atas adalah komentar yang saya sampaikan di artikel Bapak Nararrya yang mengulas tentang intoleransi. Menarik sekali ulasan beliau tentang tema ini. Tema yang memang seharusnya didiskusikan dengan ruh untuk kebaikan bagi kehidupan berbangsa di negeri ini. Sebagai konsekwensi kesadaran yang utuh jika negeri kita realitanya memang Bhinneka. Kondisi sosial yang tidak perlu di keluhkan, dibentur-benturkan, apalagi diperuncing perbedaannya.
Empat Implikasi yang dikemukakan Bapak Nararya memang cukup ideal, meskipun ada yang masih terasa kurang tepat karena menyertakan jumlah pengikut sebagai ukurannya. Ukuran jumlah dalam melihat diskriminasi dan intoleransi, dalam kondisi budaya yang sudah lintas wilayah, dalam kasus-kasus tertentu menjadi kurang relevan. Bila bidikannya sebatas satu wilayah dengan jenis intoleran dari sisi fisik, mungkin masih bisa dimengerti. Tetapi ketika menyangkut perang opini dengan menyertakan segala potensi perangkat yang dimiliki, maka jumlah menjadi tidak lagi bisa menjadi picu kepastian.
Dalam perjalanan negeri ini, kita sudah memiliki pengalaman yang sempurna atas perbedaan beragama itu. Sebenarnya kita harus bisa membaca “niat baik” dari penghapusan piagam jakarta dan itu bisa menjadi picu keyakinan kalau Indonesia sudah berusaha sekuatnya menghapus intoleran yang berpotensi ada.
Gambaran kasar yang mengemuka di negeri ini selama beberapa tahun terakhir bukanlah unsich diskriminasi satu pihak ke pihak lain. Sangat jauh berbeda kasus yang terjadi di negeri ini dengan kasus-kasus yang pernah ada di belahan negeri lain, Rohingya contohnya. Hampir di semua kasus yang berbau intoleran, negara sudah berusaha masuk dan hadir. Apalagi sebagian besar elemen negarapun menanggapi kasus itu dengan berusaha berimbang dan jernih. Juga bisa dipastikan ada tindakan hukum di akhirnya.
Mengemukanya isyu intoleran yang ada seharusnya menjadi fenomena sosial yang menarik untuk dikaji. Membaca kasus yang bias intoleran tidak bisa sebatas penglihatan satu sisi satu kepentingan. Ketika ada satu kasus yang sebenarnya sudah ada mediasi negara dengan melibtkan berbagai elemen yang berkepentingan tetapi terkesan berlarut bahkan mencuat sampai harus didengar ke negara lain, seharusnya menjadi kajian tersendiri. Ada apa?
Memposisikan kasus intoleran di negeri ini dengan penyalahan salah satu agama atau malah mencibir peran negara akan lebih mengangakan intoleransi itu sendiri. Praktek-praktek kejadian yang pernah ada lebih banyak bernuansa kasuistik, bisa juga karena faham di internal agama, juga tidak bisa dinafikan ada unsur lain yang ingin memanfaatkannya. Asumsi adanya unsur pemanfaatan itu adalah wajar karena tema ini cukup rentan untuk dicuatkan.
Ketepatan memposisikan kasus-kasus akan lebih memberikan kelegaan bagi negeri ini dalam menatap masa depan toleransi yang ada. Lebih dari itu menjadi penguat kekokohan bangsa ini di dunia sebagai negara besar yang besar pula perbedaannya tetapi berusaha mewadahi semua yang ada.
Pada prinsipnya, saya sepakat dengan ulasan intolerannya Pak Nararrya tersebut. Kalau toh harus saya paparkan lagi bukanlah untuk mencounternya, karena saya faham diri posisi keilmuan yang termiliki. Paparan ini lebih pada guratan konsep intoleran yang saya lihat dari sisi saya. Saya ingin menegaskan kalau ternyata kejadian intoleran di negeri kita tidak bisa dipastikan hitam putihnya sebagai produk diskriminasi yang masiv apalagi sistematis.
Semoga bermanfaat
Kertonegoro, 1 Desember 2013

0 komentar:
Posting Komentar