Runtang runtung kemesraan Mega Jokowi ini lama lama bikin kening Ahok berkerut juga. Sebagai Gubenur Jakarta Raya dan wakilnya tentu Jokowi dan Ahok paham bahwa domain mereka adalah masalah masalah yang selama ini menghantui Ibu Kota: macet, sampah, banjir, birokrasi dan seabreg masalah lainnya. Bukan masalah masalah politik yang kian memanas menjelang pemilu nanti. Meski terkadang diperlukan kelihaian berpolitik untuk mengurus Jakarta, tapi itu lebih kepada manajemen politik birokrasi dan bukan politik praktis untuk mengais suara.
Dengan lebih sering terlihat bersama Mega, kesan politiklah yang malah melekat kuat pada diri Jokowi, menutupi sosok Gubenur DKI itu sebagai pejabat publik pilihan rakyat. Image Jokowi yang sekarang ini pun sudah tenar sebagai capres paling potensial dari PDIP akan semakin santer terdengar gaungnya. Popularitas yang bahkan bisa membuat seorang Raja Dangdut rela menjilat ludahnya sendiri, dari semula menghujat kini berbalik arah mau meminangnya.
Media tentu juga akan lebih gencar menyorot Jokowi sebagai tokoh politik dari PDIP dibanding tugas pokoknya sebagai Gubenur DKI. Intensitas berita berita blusukan Jokowi mungkin akan tenggelam oleh berita kedekatannya dengan Mega meskipun sekedar makan siang bersama. Padahal rakyat berhak tahu sejauh mana progres yang sudah dicapai oleh Gubenur pilihannya ini.
Tidak ada yang salah bila Mega – Jokowi bertemu, sama dengaan pertemuan Ahok – Prabowo, toh memang secara politik keduanya adalah kader partainya masing masing, Sebagai pimpinan partai tentu Mega berhak memanggil Jokowi kapan saja untuk menghadap. Sebagaimana juga Prabowo bisa meminta Ahok untuk menemuinya. Yang jadi masalah adalah bila intensitas pertemuan itu terlalu sering, tentu akan membuat publik bertanya tanya, sekaligus menduga duga apakah memang Gubenur pilihan rakyat ini memang sudah berniat meninggalkan ibu kota menuju istana.
Beberapa kali ditanya jawaban Jokowi memang kerap membuat rakyat Jakarta ketar ketir saja, dari semula ”Tidak ngurus, tidak mikir jadi presiden” kini berubah menjadi ”Tanya Ibu Mega saja”.
Sebagai politisi berpengalaman tentulah Jokowi dan juga Ahok pasti paham bahwa begitu menjabat sebagai Gubenur dan wakilnya, loyalitas terhadap negara ( rakyat ) tentu jauh diatas loyalitas partai atau golongan. Terdengar klise memang, tapi bukankah memang seperti itu sifat sifat seorang negarawan, beda dengan sekedar politikus biasa.
Jokowi Ahok tentu ingin dikenang sebagai negarawan sejati bukan dicap sebagai politisi kutu loncat kelas teri.
Mungkin juga masyarakat yang bertanya tanya, kenapa Jokowi tidak lebih sering bertemu dengan Presiden SBY misalnya, meski secara fatsoen politik keduanya berbeda, tetapi sebagai Kepala Pemerintahan dan Gubenur tentu pertemuan keduanya akan menghasilkan banyak hal. Bayangkan saja bila SBY dan Jokowi sama sama meninjau waduk Pluit, Ria Rio, Rusun Marunda, tentu lebih banyak masalah yang bisa diselesaikan secara cepat disamping juga lebih adem melihatnya. Bila suatu saat SBY sudah mau dan bisa meluangkan waktunya, tidak ada alasan bagi Jokowi untuk menolaknya..
Jokowi sebagai kader potensial PDIP dan juga capres terpopuler, tentu semua orang sudah tahu. Semua orang juga tahu bila kini banyak politisi sampai menteri berebutan mendampinginya. Bila pun PDIP ingin mendompleng ketenaran Jokowi agar terkerek suaranya pada pemilu nanti itu juga sah sah saja. Keputusan memang ada pada tangan Mega, menjadikan Jokowi sebagai capres resmi PDIP atau hanya sekedar wacana belaka buat magnet pendulang suara.
PDIP jelas sudah memutuskan bahwa soal capres menunggu Pileg selesai, bisa Mega lagi yang maju atau Jokowi atau entah siapa. Selama menunggu hasil Pileg itu publik akan makin sering disuguhi kedekatan Mega Jokowi dimana mana, PDIP tentu akan memanfaatkan popularitas Gubenur DKI ini semaksimal mungkin. Pada titik inilah bisa jadi timbul masalah.
Dalam acara di Universitas Indonesia kemarin , Mega mengklaim bahwa blusukan Jokowi merupakan hasil dari titahnya. Seolah olah memang bukan Jokowi-lah pemilik asli ide blusukan ini. Padahal masyarakat juga tahu tanpa diperintah Mega pun Jokowi sudah commit mau blusukan tiap hari. Mega juga mengaku sering memarahi Gubenur DKI ini, entah dalam konteks apa yang jelas kesannya Mega merasa dirinya punya peran besar atas berbagai kinerja Jokowi di Ibu Kota .
Mungkin karena alasan inilah tiada angin tiada hujan Ahok bereaksi dengan membuka rahasia partainya sendiri, Gerindra. Statemen Ahok yang merasa direcoki kader kader Gerinda terkait kebijakannya yang tidak populis di Jakarta langsung menjadi isu panas politik. Tudingan Ahok kepada Gerindra seolah juga menohok langkah politik Megawati.
Ahok menyatakan beberapa politikus Gerindra memang kerap memarahinya terkait kebijakannya yang kontra produktif terhadap usaha partai dalam mendulang suara. Sterilisasi jalur busway, relokasi waduk, pembenahan rusun kenapa tidak menunggu pemilu saja kritik beberapa Caleg Gerinda. Kebijakan kebijakan itu bisa dinila potensial mengurangi perolehan suara partai di kantong kantong wilayah yang sudah diplot oleh partai. Sudah lazimlah bila menjelang pemilu partai gencar mengkampanyekan hal hal membela rakyat kecil, kadang tidak perduli sesuai aturan atau tidak.
Mendapat tekanan seperti ini Ahok bukannya mundur malah bereaksi keras, Ahok bahkan mengaku siap dipecat dari partainya bila memang Gerindra tidak mendukung kebijakannya membenahi Ibu Kota. Sebuah pernyataan tegas khas Ahok yang jarang dimiliki oleh politisi lainnya. Bila yang lain biasanya nurut manut sesuai perintah partai untuk kasus Ahok kali ini beda, dia berani melawan. Pernyataan Ahok kontan saja membuat Gerindra kelabakan, petinggi partai macam Pius Liustianang tergopoh gopoh langsung mengklarifikasi sekaligus membantahnya. Gerindra commit mendukung Jokowi Ahok ujarnya.
Tekanan politikus Gerinda ini bisa jadi sudah terjadi bebarapa saat yang lalu, ketika Ahok baru mau membukanya sekarang mungkin dia menilai kedekatan Mega Jokowi sudah tidak sehat, tidak kondusif bagi program kerja mereka berdua. Aparat birokrat DKI mungkin saja jadi nyantai kerjanya, ”Ah…kan Bos gue bentar lagi nyapres, kalau Ahok yang jadi Gubenur mana mau dia blusukan kayak Jokowi. Jadi kerja balik kayak dulu lagi aja bro, kayak jaman Gubenur yang dulu, santaii..”
Sidak Jokowi di Kelurahan Menteng seolah menjadi pembenar atas argumen ini, Gubenur DKI ini kuciwa berat disuguhi kantor melompong saat mulai jam kerja.
Statemen Ahok terhadap Gerinda ini secara tidak langsung bisa juga ditujukan ke Mega dan PDIP agar berhati hati menjelang pemilu nanti. Itu adalah pesan Ahok ke Mega dan PDIP agar tidak terlalu mencampuri urusan kebijakan pemprov DKI, boleh boleh saja mengklaim hal hal yang bersifat umum semacam perintah blusukan dan sebagainya, tapi jangan pernah mengotak atik atau menghalangi kewenangan Gubernur dan wakilnya. Menjelang pemilu bukan tidak mungkin partai partai melakukan apa saja buat meraih suara sebanyak banyaknya.Seenaknya saja mengatasnamakan wong cilik dengan mendukung kepentingan mereka yang jelas jelas salah melanggar aturan.
Ungkapan Ahok bisa jadi juga ditujukan buat Bosnya sendiri Jokowi, agar tetap bersikap tegas tidak terpengaruh rayuan atau bahkan tekanan sekalipun datangnya dari pimpinan partainya sendiri. Bila Jokowi berkenan mau menerima pinangan Mega tentu itu hak politiknya, Ahok atau siapapun tidak bisa melarangnya. Tapi selama masih berbaju Gubenur DKI tentu harus lebih taat kepada konstitusi daripada konstituen. Sejauh ini Ahok tentu masih sangat percaya bahwa integritas Jokowi tidak bisa dibeli. Sebagai orang Jawa tulen, tipikal Jokowi yang sarat unggah ungguh tentu tidak bisa lepas dari kepribadian dirinya, bukan berarti dengan itu orang luar bisa seenaknya menekan dan mempengaruhinya.
Jokowi – Ahok, dwi tunggal ini bukankah sungguh sangat serasi memimpin Jakarta, bila salah satunya pergi meninggalkan Ibu Kota menuju istana tentu tidak elok lah dipandang mata. Keduanya sudah saling mengisi dan melengkapi. Tak perlulah mengingatkan Jokowi berulang kali bahwa janjinya memimpin Jakarta hingga usai 2017 nanti mestilah ditepati.
Megawati pun yang secara bijak menolak menjadi Ibu Bangsa kiranya bisa melihat hal ini lebih jernih. Terlalu besar nama Sukarno dipertaruhkan bila hanya sekedar mau meraih popularitas sesaat dengan memanfaatkan Gubenur DKI ini. Menempatkan Jokowi sang kader terbaik dalam posisi yang benar benar dibutuhkan oleh negara tentu adalah harapan seluruh elemen bangsa. Saat nanti pun bila akhirnya Mega mengumumkan bahwa capres dari partainya adalah Jokowi, kita pun harus berprasangka yang baik kepada beliau bahwa itu semata dilandasi demi kepentingan bangsa dan negara, bukan yang lainnya.
Demi Indonesia yang lebih baik…
Salam.

0 komentar:
Posting Komentar