promosi bisnis online gratis

Satu-Satunya Hak Rakyat Yang Tersisa, Hendak Dicabut Pula


Demi kenyamanan dan kenikmatan penyelenggara Pemilu dan caleg-caleg, terbitlah niat untuk mencabut hak konstitusional rakyat.


Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, memilih adalah hak politik warga negara. Hak politik itu dapat saja dicabut oleh negara karena sesuatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan seseorang.


Tetapi kini muncul wacana agar memilih sebagai hak politik diubah menjadi kewajiban politik. Ide yang dilontarkan Sigit Pamungkas (Komisioner KPU) dan diamini Masyukurudin Hafidz (Deputi Internal Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat, JPPR) pada harian Media Indonesia, Selasa, 26 November 2013.


Alasan utamanya adalah untuk mengurangi ongkos politik. Dengan begitu maka kandidat akan fokus untuk mempresentasikan idenya dibandingkan dengan bagaimana mengembalikan biaya modal kampanye. Argentina, Australia, Brasil, Kongo, Singapura, Uruguay, Peru, Ekuador, Thailand, adalah contoh beberapa negara yang sudah menerapkan kewajiban memilih.


SUATU IDE YANG HIPOKRIT, DARI ORANG-ORANG HIPOKRIT .


Terdapat perbedaan signifikan antara hak dan kewajiban. Orang yang tidak mengambil haknya tidak dapat dikenai sanksi hukum, orang yang tidak melakukan kewajibannya harus dikenai sanksi hukum. Maka itu sejak Indonesia merdeka hingga kini, antara memilih atau golput adalah sebuah pilihan dan itu hak warga negara. Pasti banyak penyebab atau alasan mengapa seseorang melakukan atau tidak melakukan haknya.


Mengubah “memilih” dari hak menjadi kewajiban sama artinya dengan menjadikan rakyat menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Rakyat dipaksa harus memilih di antara pilihan yang disediakan oleh Parpol peserta pemilu, kalau tidak memilih maka ada konsekuensi hukum yang menyertainya. Mengubah “memilih” dari hak menjadi kewajiban didasarkan pada paradigma bahwa rakyat itu bodoh dan mata duitan. Brengsek.


Mengurangi biaya politik adalah alasan tolol. Agar kandidat lebih fokus mempresentasikan idenya dibanding mengembalikan modal biaya kampanye adalah alasan lebih tolol lagi.


Biaya politik tinggi adalah disebabkan karena kandidat yang bersangkutan tidak memiliki ide, tidak memiliki karya nyata, selain hasrat membara untuk berkuasa dan kemudian berkesempatan menjarah harta negara.


Mengapa seorang anggota DPR periode 2009 – 2014 masih memerlukan biaya tinggi agar dapat terpilih lagi pada periode 2014-2019, ayo coba jawab. Semata-mata karena yang bersangkutan tidak memberikan kontribusi apapun selama menjadi anggota DPR. Membutuhkan biaya besar untuk memoles citra yang jelek agar terlihat menjadi cantik, itu saja penyebab mangapa biaya politik itu menjadi tinggi.


Bagaimana dengan yang baru nyaleg pada periode 2014-2019. Sama saja. Alasan mengapa Parpol memilih mereka masuk daftar caleg sangat beragam. Karena uang, kedekatan kekerabatan seperti anak atau ponakan ketum Parpol. Kontribusi, mutu, dan moral adalah pertimbangan keseratus. Apakah caleg tersebut memiliki suatu ide untuk ditawarkan?, itu tidak masuk pertimbangan.


Cermatilah daftar caleg pada pemilu 2014, 95% petahana ada pada daftar dengan nomor urut jadi. Kita semua mengetahui bagaimana bobroknya DPR periode 2009-2014, dan rakyat dipaksa untuk memilih mereka kembali?. HIPOKRIT.


Joko Widodo dapat menjadi contoh betapa biaya politik dalam bentuk rupiah itu dapat menjadi murah. Bekerja untuk rakyat, melayani kepentingan rakyat, itu saja.


Mengapa contoh yang baik seperti ini, sangat sedikit (atau bahkan tidak ada) yang mengikuti?. Semata-mata karena para kandidat itu menjadi caleg bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi kepentingan untuk memuaskan hasrat akan kekuasaan, hasrat akan penguasaan terhadap kekayaan negara, dan hasrat di selangkangan.


Dan demi kepuasan hasrat-hasrat setan ini, satu-satunya hak rakyat yang masih tersisa harus diambil juga?, terkutuklah siapa saja yang berhasrat melakukannya.


Joko Widodo hingga kini tidak mengeluarkan biaya satu rupiah-pun, dan lihatlah dia memiliki elektabilitas jauh mengungguli kandidat yang sudah menghabiskan biaya ratusan miliar rupiah. Padahal kita juga semua tahu bahwa Bapak Joko Widodo itu belum (mungkin tidak) mendeklarasikan diri sebagai capres. Saat bersamaan, yang lainnya sudah mendeklarasikan diri sampai mulutnya berbusa-busa, sudah menghabiskan ratusan miliar rupiah untuk memoles citra diri. Hasilnya, mereka semua tetap berada di bawah ketiak Joko Widodo, yang tidak mengeluarkan satu rupiahpun dan belum mendeklarasikan diri sebagai capres. Untung saja ketiak pak Jokowi itu wangi.


Bapak Sigit Pamungkas, anda tahu kenapa begitu?.


Ide Sigit Pamungkas ini menjadi pintu masuk untuk membunuh suara dan kekuatan rakyat, melempangkan jalan menuju kediktatoran parlementerial.


Maka saya tidak dapat memahami, mengapa seorang komisioner KPU dapat memiliki ide sableng seperti ini.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/03/satu-satunya-hak-rakyat-yang-tersisa-hendak-dicabut-pula-615202.html

Satu-Satunya Hak Rakyat Yang Tersisa, Hendak Dicabut Pula | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar