Satu data mengenai gaji Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta saya temukan di http://news.detik.com/read/2013/12/01/155257/2428939/10/disebut-fitra-berpenghasilan-miliaran-jokowi-itu-dana-operasional?991104topnews. Tak ayal membuat saya sangat terkejut bercampur heran tidak karu-karuan.
Terus terang, saya terkejut ketika mengetahui seberapa besar gaji gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada Februari 2013 di situs Detik.com itu. Saya bayangkan pula, kalau gaji pokok gubernur DKI Jakarta bisa menjadi patokan untuk menengahi gaji pokok gubernur-gubernur lainnya, maksimalnya Rp. 10 juta.
Terkejutnya saya, selama ini saya menyangka gaji pokok seorang gubernur DKI Jakarta bisa mencapai Rp. 30 juta s/d Rp. 60 juta, atau bahkan mungkin lebih Rp.200 juta. Apalagi, belum lama ini sempat heboh soal belanja bulanan Gubernur Banten Ratu atut yang melebihi angka Rp. 1 milyar. Masak sih gaji pokok seorang gubernur tidak sampai Rp. 5 juta?
Kalau saya bandingkan dengan gaji pokok seorang drafter (pembuat gambar yang berposisi di bawah seorang engineer, atau paling rendah dalam struktur organisasi bidang teknik dalam jasa konstruksi) di Balikpapan pada bulan yang sama, bedanya tidak terlalu jauh. Pada bulan Februari 2013 gaji pokok seorang drafter di Balikpapan berkisar Rp.2 juta s/d Rp.3,5 juta. Artinya, dengan angka tertingginya sebesar Rp.3,5 juta, berarti gaji pokok seorang drafter sedikit lebih tinggi (Rp.500 ribu) daripada gaji gubernur DKI Jakarta.
Dan, kalau gaji pokok sering dipakai oleh sebagian orang sebagai parameter terhadap suatu status sosial-ekonomi seseorang, jelas bahwa profesi sebagai drafter lebih berharga secara finansial daripada seorang gubernur. Seorang drafter haruslah bersyukur bahwa gajinya lebih tinggi daripada gaji seorang gubernur.
Akan tetapi, saya heran, mengapa orang-orang berebut menjadi seorang gubernur, selain DKI Jakarta, dengan gaji yang tidak mencapai Rp. 10 juta, bahkan tidak sedikit yang menggunakan berbagai macam cara untuk meraih posisi tersebut?
Saya sering mendengar, di luar Rp. 4 juta-an itu, masih banyak yang bisa didapatkan oleh seorang gubernur. Tunjangan ini-itu. Oh ya? Apakah berupa uang tunai, dan seluruhnya bisa dinikmati tanpa pertanggungjawaban?
Selain tu, saya juga sering mendengar istilah “sabetan”, “seseran”, “ceperan”, atau “sampingan”. Apakah istilah-istilah itu bukannya berkategori sebagai gratifikasi alias suap alias korupsi?
Nah, dengan sedikit hitung-hitungan dibumbui rasa penuh keterkejutan dan keheranan, kali ini saya nekat membuat kesimpulan secara sederhana, kampungan sekaligus bodoh. Kalau bukan ditambah kesempatan melakukan tindak korupsi, manalah mungkin setiap PILKADA banyak yang berebut menjadi gubernur yang bergaji tidaklah lebih dari Rp. 10 juta sampai Rp. 15 juta, atau di bawah gaji seorang manajer.
*******
Balikpapan, 01 Desember 2013

0 komentar:
Posting Komentar