promosi bisnis online gratis

Media dan Masyarakat Antikorupsi


Media dan Masyarakat Antikorupsi




Korupsi telah menjadi endemik yang berbahaya di negara kita. Menilik catatan termutakhir, hampir tidak ada lembaga pemerintah yang tidak terimbas kasus korupsi. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, keseluruhannya digerogoti oleh kasus-kasus korupsi, mulai dari megakorupsi hingga korupsi kecil-kecilan.


Mirisnya, lembaga yang paling korup dalam lima tahun terakhir justru adalah dua lembaga yang harusnya menjadi tempat rakyat mengadukan segala persoalan, yaitu DPR dan Kepolisian.


Menurut data yang sempat disosialisasi oleh wakil ketua KPK, Adnan Pandu Praja (Kompas.com, 16/9/13), DPR selama tiga tahun berturut-turut selama 2009, 2010 dan 2011, merupakan lembaga negara terkorup. Pada tahun 2012 dan 2013, DPR ternyata mendapat ‘saingan’ dari Polri sebagai dua lembaga negara terkorup. Kedua lembaga itu diikuti di belakangnya oleh pengadilan (yudikatif), parpol, pegawai negeri sipil (PNS), sektor bisnis, sektor kesehatan, dan kemudian sistem pendidikan.


Ditilik ke pejabat-pejabat daerah, menurut Mendagri Gamawan Fauzi sebagaimana dikutip oleh banyak media, maka per 15 November 2013 ada sebanyak 311 kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) dari 545 yang menjabat saat ini terlibat tindak pidana korupsi. Ini berarti sekitar 57 persen dari total populasi kepala daerah se-Indonesia.


Kasus korupsi terheboh sepanjang 2013 ‘dibintangi’ oleh kasus korupsi ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar yang terkuak pada operasi tangkap tangan di awal Oktober lalu. Publik buncah, seluruh elemen masyarakat terpekik dan malu serta sedih, betapa lembaga yang selama ini diagung-agungkan sebagai benteng terakhir penegakan hukum justru hancur marwahnya oleh ulah korupsi.


Tak pelak, akibat berbagai prestasi negatif itu, Transparansi Internasional masih menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Sambil menunggu hasil CPI (Corruption Perception Index) yang setiap tahunnya dirilis pada sekitar pertengahan Desember, maka menurut data 2012, Indonesia masih menempati posisi 118 dari 176 negara. Skor Indonesia hanya 32, sedikit lebih baik dari Vietnam (31), dan Myanmar (15), tetapi di bawah seluruh negara tetangga lainnya di kawasan ASEAN. Sebagai catatan, ranking ini menyiratkan kemerosotan, jika dibanding tahun sebelumnya, 2011, yang menempati posisi ke-100.


Menyimak ini semua, diperlukan gerakan masif yang lebih terorganisir, dimulai tidak saja dari atas (pemerintah), melainkan harus dimulai dari masyarakat kalangan terbawah. Harus ada penyadaran bahwa korupsi kalau dibiarkan akan menjadi tradisi yang melekat dengan aktivitas kehidupan sehari-hari, seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan, menjajah pola pikir masyarakat.


Pola pikir yang berkembang selama ini sudah demikian parah. Sebagai contoh, kutipan di sana-sini dalam pengurusan segala urusan administrasi kadang dianggap sebagai bagian dari budaya timur yang terkontaminasi oleh budaya ewuh-pakewuh, sungkan-menyungkan. Akhirnya ada istilah uang rokok, atau uang pelican, untuk segala urusan. Anehnya lagi, untuk kasus suap, penyuap seolah menganggap setorannya sebagai sesuatu yang bakal melanggengkan pertemanan, suatu kebiasaan yang inheren dengan relasi sosial yang niatnya ‘sekadar’ memperkuat interaksi.


Ke depan, sebagai elemen masyarakat sipil yang memiliki potensi untuk melancarkan edukasi ke tengah masyarakat, media harus mengambil peran yang lebih efektif dalam mensosialisasikan dan bahkan memperkokoh aktivisasi gerakan antikorupsi. Walaupun tugas berat ini tidak bisa diemban sendiri, media harus bisa menjadi stake-holder perantara untuk menjadi magnet gerakan antikorupsi bersama-sama dengan elemen-elemen penting lainnya.


Smilov (2009) menyebutkan ada lima elemen lainnya yang bersama-sama dengan media akan menjadi kekuatan ampuh sebagai katalisator gerakan antikorupsi. Kelima elemen lainnya adalah politikus, lembaga peradilan (yudikatif), kepolisian dan kejaksaan, masyarakat sipil/LSM, dan para pengusaha/pebisnis. Keenam elemen ini (ditambah media) harus bisa bersinergi, memiliki agenda utama dalam setiap programnya untuk tidak saja membasmi kasus-kasus korupsi, namun juga mampu menerapkan preventif system (system yang mampu mencegah) di lembaganya masing-masing.


Perlu diingat, usaha mengeliminasi dan mengeradikasi (menghabiskan hingga ke akarnya) kasus korupsi tidak bisa diserahkan bulat-bulat ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengalaman di negara-negara seperti Cina, negara-negara Eropa timur dan Amerika Selatan, serta Afrika, cukup jelas menunjukkan bahwa lembaga resmi antikorupsi bentukan pemerintah tidak pernah berjalan efektif jika dibiarkan sendiri.


Media punya kesempatan emas untuk membuktikan komitmen dan peran aktifnya, dan menurut hemat penulis, lembaga pendidikan, sebagai elemen ketujuh, harus pula segera dirangkul dan dijadikan partner strategis. Sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi, harus cepat menyerap dan mengadaptasi kurikulum terbaru yang di dalamnya ada muatan pendidikan antikorupsi. Kita semua harus bergerak aktif di dalam jaringan itu. Mari dimulai dari sekarang dan dari diri sendiri.***






sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/01/media-dan-masyarakat-antikorupsi-612967.html

Media dan Masyarakat Antikorupsi | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar