Indahnya negeri ini apabila semuanya hidup serba teratur. “Hukum menjadi panglima” dan penegakan hukum berjalan secara konsisten. Semua orang tidak perlu mempertanyakan kapabilitas lembaga penegakan hukum ataupun aturan perundang-undangannya. Mereka yang terjerat kasus pidana korupsi misalnya, tidak perlu memberikan sinyalemen bahwa kasusnya berkait erat dengan tekanan politik. Atau muncul istilah intervensi dan konspirasi. Mereka memahami bila hukum sudah berjalan “on the track“, sebagai warga negara mereka harus mematuhinya dan menjalani proses hukum yang ada.
Itulah harapan yang selalu muncul dalam benak segenap rakyat Indonesia. Namun, hingga saat ini, harapan itu masih belum terwujud. Di tengah situasi ekonomi dan politik yang stabil, dunia hukum di negeri ini masih terus gaduh. Gaduh oleh berbagai macam kasus hukum yang melibatkan tokoh politik, pejabat negara, hingga ketidak adilan hukum yang dialami oleh masyarakat kecil. Bagi pejabat dan tokoh politik, mereka berusaha berjuang agar bisa terhindar dari hukuman. Tapi disisi lain, bagi masyarakat kecil berharap agar hukum bisa tegas tanpa pandang bulu.
Membangun “hukum sebagai panglima” bukanlah hal yang mudah. Di negara-negara maju, membangun hukum membutuhkan waktu ratusan tahun dan sangat tergantung dari perkembangan masyarakatnya. Tapi ada juga yang tidak membutuhan waktu hingga ratusan tahun. Singapura adalah contohnya. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Lee Kwan Yee, Singapura menjadi negara yang tertib dan masyarakatnya taat terhadap hukum. Lee Kwan Yee, yang merupakan mantan pengacara berhasil membangun “hukum sebagai panglima” hanya dalam waktu puluhan tahun.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Bisakah kita membangun hukum dengan jangka waktu singkat. Dengan komitmen yang tinggi, cita-cita itu bisa terwujud. Sebab, penegakan hukum menjadi kunci bagi tumbuhnya peradaban bangsa dan meningkatnya wawasan kebangsaan di masyarakat. Adalah Ketua Mahkamah Konsitusi Mahfud MD yang menegaskan bahwa penegakan hukum merupakan tolak ukur bangsa ini menjadi maju atau mundur. Atau, dalam pemikiran Talcott Parsons, mengenai teori sistem yakni hukum merupakan salah satu sub-sistem.
Jika wawasan kebangsaan merupakan falsafah hidup atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya, maka jelaslah bahwa wawasan kebangsaan akan tumbuh sesuai pengalaman yang dialami oleh seseorang. Pengalaman ini merupakan akumulasi dari proses tataran sistem lainnya, yakni sub-sistem sosial, sub-sistem ekonomi, sub-sistem politik dan sub-sistem hukum.
Dari perspektif inilah, pengalaman masyarakat terhadap ketidakadilan sosial, ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan hukum yang dialaminya akan memberikan penilaian terhadap semangat wawasan kebangsaan yang ada di dalam dirinya. Jika nilai-nilai ketidakadilan ini sering mendominasi, maka bisa dipastikan semangat wawasan kebangsaan yang tumbuh di masyarakat juga rendah. Lain halnya bila ketidakadilan ini dapat diselesaikan dengan baik dan memiliki kepastian hukum, maka wawasan kebangsaan akan tumbuh dengan dinamika yang tinggi.
Hal ini menunjukkan membangun wawasan kebangsaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang plural, harus diimbangi dengan menghilangkan segala bentuk ketidakadilan yang ada di masyarakat, termasuk memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam setiap persoalan yang ada di masyarakat.

0 komentar:
Posting Komentar