Apa yang tidak kita sukai dari Amerika Serikat (AS) adalah dominasi dan kekuasaannya. Luas dan dalamnya dominasi dan kekuasaan itu mengubah ketidaksukaan menjadi kebencian, banyak orang yang membenci AS.
Jika dicermati, kebencian itu timbul adalah karena AS telah merebut cita-cita banyak orang dan sekaligus menjadi penghalang untuk menjadi dominan dan sangat berkuasa. Diri pribadi, institusi, dan Negara menyimpan hasrat membara untuk menjadi sangat dominan dan sangat berkuasa. Semua kita adalah AS-AS kecil.
Kebencian negara lain terhadap Hitler bersumber dari ketakutan akan kehilangan dominasi dan kekuasaan. Hitler memamerkan kekuatan dan kemampuan untuk merebut dominasi dan kekuasaan yang telah sangat lama digenggam dan dinikmati negara lain. Para pesaing membenci Suharto karena mereka juga sangat berambisi untuk menjadi seperti Suharto. Duduk di kursi kekuasaan tertinggi menggenggam kekuasaan mutlak tak terbatas adalah impian semua politikus, dan di situ Suharto menjadi penghalang nomor satu. Dan ketika tiba saatnya Suharto lengser, tentang kekuasaan itu tidak ada yang berubah selain berganti orang.
Sebagai sebuah Negara, maka setiap Negara juga menginginkan hal yang sama, atau paling tidak memimpikan hal yang sama. Sebagian Negara menyimpannya sebagai mimpi, dan sebagian Negara lain berusaha keras mewujudkannya.
Setiap Partai Politik, dengan cara apapun, berambisi untuk memperoleh suara mayoritas mutlak, dan itu membuka jalan untuk mewujudkan impian menjadi penguasa mutlak. Jika tidak mampu meraih kekuasaan mutlak itu, paling tidak ya memperoleh bagian dari kue kekuasaan itu.
Dan bahkan ambisi dari setiap agama juga sama seperti ambisinya Hitler, ambisinya Suharto, ambisinya AS, ambisinya Stalin, dan ambisi yang lain. Semua agama menginginkan umat sebanyak mungkin, dan impian agar semua manusia menjadi satu agama disimpan dengan baik di dalam benak menunggu momen yang pas untuk diletupkan. Perang agama, atau perang mengatasnamakan agama adalah bukti nyata keberadaan ambisi ini.
Agama juga memiliki ambisi untuk menjadi penguasa mutlak. Paling tidak keinginan agar orang yang berkuasa berasal dari agama yang sama. Itulah sebabnya, bahkan seorang lurah yang ruang lingkup kekuasaannya kecil, keributan terjadi saat lurah yang diangkat itu agamanya lain dari agama mayoritas. Di birokrasi Indonesia, agama dapat sangat mempengaruhi jenjang karir dan kepangkatan seseorang.
Menjelang pemilu 2014, Hitler dan Stalin yang bersemayam di lubuk hati para politikus muncrat menampakkan diri dalam wujud hasrat untuk menang dan berkuasa. Cara untuk menang menjadi tidak begitu penting dan tidak relevan, pokoke menang.
Semua kita adalah AS, semua kita adalah Suharto, semua kita adalah Hitler, semua kita adalah Stalin, sebab semua kita bernafsu untuk mendominasi. Hanya kita terlalu munafik untuk mengakuinya.
Dan lalu kita membenci dominasi AS. Bangsat, kenapa sih bukan gue yang seperti itu?. Huh …..

0 komentar:
Posting Komentar