Sumber: http://news.detik.com/read/2013/11/26/200449/2424439/10/hanya-6-agama-yang-boleh-ditulis-di-e-ktp?n991103605
Selasa, 26 November 2013, DPR-RI mengetuk palu Hasil Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminstrasi Kependudukan (di sini dan di sini).
Selain menyatakan KTP Elektronik sebagai tanda identitas penduduk seumur hidup, UU ini disebut juga memberikan ruang bagi penganut agama non-enam agama atau di luar hindu, islam, budha, kristen-protestan, katolik, dan konghucu, untuk mengosongkan kolom agama pada KTP.
Pasal 64 Ayat 2 UU itu berbunyi, “elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan, tidak diisi tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”
Tetap diskriminatif
Andai membaca naskah lama UU ini, sesungguhnya revisi pada ayat-pasal tersebut tidak mencerminkan perubahan substansial atas sikap negara terhadap penduduk non-enam agama. Negara tetap menempatkan mereka sebagai warga golongan nomor kesekian dibandingkan dengan kelompok agama lainnya.
Sudah sejak lama seseungguhnya, secara tidak tertulis ada semacam kesepakatan di internal penyelenggara negara untuk memaksa warga negara—siapa pun itu—untuk mencatumkan salah satu dari enam agama. Kelompok non-enam agama itu diberi pilihan: mencatumkan, berarti memilih salah satu dari enam agama. Namun, sejak munculnya UU Adminitrasi Kependudukan pada tahun 2006, kelompok non-enam agama diberikan pilihan mengosongkan atau tidak diisi.
Akan tetapi, menurut penulis, kebijakan ini—mengosongkan atau tidak mengisi kolom agama–sesungguhnya tetap mencerminkan watak diskriminatif negara—sebagai representatif kelompok dominan—yang dibungkus dalam kebijakan setengah hati. Dua dua hal yang perlu disikapi dalam melihat kebijakan setengah hati ini.
Pertama, secara politisi patut dicurigai mengapa negara bersikap pilih kasih dalam melihat warga negara. Nampaknya, negara bersikap hati-hati karena konsekuensi mencantumkan semua agama yang ada dalam masyarakat, memungkinkan terbukanya data baru—atau fakta sesungguhnya—mengenai komposisi (jumlah) penganut agama di Indonesia. Ini tentu secara politis merugikan kelompok atau pihak-pihak tertentu.
Kedua, secara praktis, pilihan mencantumkan semua agama penduduk, akan memaksa negara berlaku sama terhadap kepentingan mereka melalui kebijakannya. Kita bisa sebut, misalnya, struktur di internal Kementerian Agama, harus dirombak. Lembaga ini harus mengikuti dan merepresentasikan kondisi dalam masyarakat. Konsekuensinya, Dirjen Bimas akan semakin kompleks, tidak seperti hari ini yang hanya mewakili enam agama (di sini).
Mencantumkan agama semua penduduk, otomatis mengharuskan negara membentuk Ditjen Bimas atau perangkat sejenis yang khusus mengurusi kehidupan keagamaan kelompok-kelompok tersebut. Artinya, harus ada Ditjen Bimas untuk agama Samim, Naurus, Wetu Telu, Tolottang, Tonaas Walian, Sunda Wiwitan, Buhun, Kejawen, Parmalim, atau Kaharingan, dst (cek di sini). Kekuasaan harus dibagi-bagi, siapa yang mau?
Ini baru satu kemungkinan perubahan sebagai dampak dari afirmasi berbagai penganut di luar enam agama tersebut. Belum lagi kalau perubahan dikaitkan dengan afirmasi pendidikan agama di sekolah-sekolah. Negara pasti tambah dibuat pusing. Jadi daripada repot, nampaknya negara hari ini lebih memilih jalan aman: bersikap setengah hati dan absen atas kepentingan kelompok non-enam agama.
Pada konteks makro, perjumpaan agama dan negara perlu kiranya disikapi kembali. Jika negara masih terus menjebak diri dalam logika ada agama resmi dan tidak resmi, lalu melahirkan kebijakan atas dasar itu, maka negara berpotensi terus-menerus melanggar hak asasi warganya. Bersikap dengan pikiran diskriminantif itu bahkan akan mempersulit negara dalam menjalankan tugasnya.
Di sini, yang menjadi persoalan lain adalah fakta dominasi negara terhadap agama. Polemik pencatuman kolom agama pada KTP hanyalah salah satu hasil dominasi itu. Jadi, tuntutan ada tidaknya kolom agama pada KTP, adalah bentuk gugatan atas peran dominasi negara terhadap agama.
Karena adanya keharusan pencantuman kolom agama dalam KTP adalah cerminan bagaimana dominasi negara atas agama itu beroperasi. Lantas, apa jadinya kalau negara adalah cerminan atau representatsi dominasi kelompok tertentu? Berarti, selama ini keberadaan kelompok non-enam agama ditentukan oleh kelompok tersebut. Dan UU Kependudukan adalah bentuk dominasi struktural itu.

0 komentar:
Posting Komentar