ilustrasi: skyscrapercity.com
Mengapa bisa terjadi “konflik” antara pemda DKI dan pemkot Depok? Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya masalah seperti tersebut adalah karena ketiadaan paradigma kebersamaan (teamwork paradigm) dalam membangung bangsa, khususnya wilyah Jabodetabek.
Sebagaimana diberitakan, Walikota Depok, Nurmahmudi Ismail, menentang niat pemda DKI untuk membeli beberapa lahan di daerah aliran sungai Ciliwung untuk dijadikan waduk penampung air guna mengendalikan arus air dari hulu ((daerah Bogor) yang membanjiri Jakarta.
Teamwork Paradigm akan membekali paradigma kepada setiap pemimpin wilayah, di seluruh Indonesia, untuk memiliki pemahaman seragam bahwa membangun wilayah mereka mereka berarti membangun Indonesia. Artinya, pembangunan yang dilakukan di setiap wilayah harus sinergis dengan wilayah lain. Garis besar atau guideline pembangunan nasional ini dipersiapkan oleh pemerintah pusat; pemerintah daerah bertindak sebagi pelaksana dengan merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan yang merujuk pada garis besar tersebut, tetapi tentu disesuaikan dengan karakter masing-masing daerah. Para pemimpin wilayah: gubernur, bupati, walikota adalah team pelaksana pembangunan nasional di bawah komando pemerintah pusat. Otonomi daerah bukanlah justifikasi untuk bersikap “nafsi-nafsi”, tetapi sebaliknya merupakan “privilege” dari pusat untuk daerah (kabupaten dan kota madya) agar para pemimpin daerah memiliki kebebasan dalam menggali potensi dan membangun serta mengelola wilayahnya secara kreatif dan inovatif.
Seperti sebuah hamparan puzzle, wilayah Indonesia adalah susunan dari potongan-potongan puzzle yang saling melengkapi untuk kemudian mewujud menjadi wilayah Nusantara. Dalam hamparan tersebut, antara potongan puzzle yang satu dengan yang lain tidak boleh saling tumpang tindih atau bahkan berbeda irisan sisi dimensionalnya.
Khusus untuk wilayah Jabodetabek; wilayah ini adalah pusat hamparan puzzle dimana potongan-potongan puzzle lain yang disusun oleh pemerintah daerah lain dimulai. Dengan kata lain, pembangunan yang terjadi di wilayah DKI menjadi cermin atau rujukan (meskipun tidak semua, karena tergantung kebutuhan masing-masing) wilayah Indonesia lainnya. Apalagi sebagai ibukota negara, DKI Jakarta adalah etalase depan wilayah Nusantara.
“Konflik” yang terjadi antara pemda DKI dan pemkot Depok mencerminkan tiadanya pemahaman yang komprehensif, terutama oleh pemkot Depok, terhadap hamparan puzzle besar Nusantara tersebut. Pemkot Depok nampaknya tidak paham bahwa pembangunan yang terjadi di wilayahnya memberi dampak pada Jakarta; dan sebaliknya. Sebagai wilayah penyangga Jakarta bersama Bekasi, Tangerang dan Bogor, pemkot Depok harus mensinergikan kebijakan pembangunan wilayahnya dengan pemda DKI. Seluruh permasalahan baik itu masalah sosial, pendidikan, pemukiman, transportasi dan lain sebagainya harus menjadi masalah bersama; tidak bisa satu wilayah mengalienasi wilayah lain.
Meskipun pemda DKI menganggarkan dana yang besar untuk mengurai problema macet, banjir, transportasi, pemukiman dan yang lainnya; tanpa dukungan dari pemda dan pemkot Jabodetabek, semua anggaran tersebut hanya akan terbuang percuma. Karena realitasnya, orang Jabodetabek cari makan di Jakarta, seluruh aliran sungai di Jakarta asalnya dari Bogor dan Depok, dan kendaraan yang memacetkan Jakarta mengalir dari wilayah Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi).
Keterbukaan pemda DKI saat ini, dibawah kepemimpinan Jokowi-Ahok, harus dimanfaatkan oleh pemkot Depok dan Botabek lain sebagai momentum untuk menguatkan teamwork paradigm yang selama ini hilang dari mindset para pemimpin wilayah Jabodetabek. Dengan demikin, problema akut dan kronis yang saat ini dihadapi oleh pemda DKI; terutama menyangkut banjir, macet, pemukiman, serta transportasi, dapat diatasi bersama-sama secara sinergis.
Bukan sebaliknya dengan menyatakan “urus masalahmu sendiri, jangan urus rumah tangga orang lain” seperti kata Nurmahmudi Ismail, walikota Depok. Egoisme wilayah hanya akan mengacaukan susunan puzzle di hamparan Nusantara.

0 komentar:
Posting Komentar