promosi bisnis online gratis

Erosi Etika Keteladanan di Ruang Publik


Erosi Etika Keteladanan di ruang Publik


Oleh : Sampe L. Purba


Teladan, dalam bahasa Yunani adalah “tupos”, yang berarti model, gambar, ideal atau pola. Yang dapat menjadi teladan, adalah orang yang terdepan, menginspirasi orang-orang lain di sekitarnya. Dalam zaman pergerakan, seorang pemimpin itu disebut Pemuka, yakni yang berada di garis terdepan. Di depan memberi teladan - ing ngarso sung tulodo. Ada tanggung jawab moral dan etika bagi para pemuka, atau tokoh-tokoh publik untuk mendisiplin dan mengikat dirinya sendiri – dengan self censorship. Bung Karno, misalnya. Sebagai seorang pemimpin muda, menunjukkan keteladanan itu hingga ke ruang privatnya. Satunya kata dan perbuatan


Syahdan, HOS Tjokroaminoto, mertua Bung Karno, ditangkap Belanda pada tahun 1921. Bung Karno – sebagai menantu – mengambil cuti kuliah Technische Hoge School (sekarang ITB) dan kembali ke Surabaya, bekerja sebagai kernet tiket di stasiun kereta api untuk mengambil alih tanggung jawab ekonomi. Isterinya Utari – seorang perawan tingting yang masih sangat belia dikembalikannya dalam keadaan - utuh luar dalam - kepada Tjokroaminoto, tanpa disentuhnya dalam hubungan fisik suami isteri. Bandingkanlah ini dengan kisah seorang mantan bupati di jaman Kemerdekaan Reformasi ini – yang malah petentengan menantang pengadilan, ketika dia menceraikan seorang gadis muda belia setelah digauli dan disekapnya.


Ruang publik ada dua, yakni yang hadir secara fisik, seperti jalan raya, ruangan, alun-alun, lapangan. Sedangkan yang sifatnya non fisik, adalah frekuensi transmisi gelombang udara, tetapi memenuhi ruang publik tanpa kulo nuwun seperti siaran radio, televisi dan sebagainya.


Seorang tokoh publik - baik itu selebriti, politisi, pengusaha, LSM, atau Godfather gerombolan berseragam, memiliki akses dan dominasi yang lebih baik terhadap ruang publik. Tetapi dominasi ini sering menindas. Misalnya dengan parade motor gede yang intimidatif, membunyikan knalpot sekelas mobil balap yang menggelegar memekakkan telinga, atau menyerobot kemacetan jalanan dengan voorrijder yang meraung-raung. Sementara masyarakat awam dipaksa patuh minggir tidak masuk lintasan busway, Bus sendiripun tidak memadai dan teratur jadwalnya. Demikian juga, mana kala propertinya diperlukan untuk pembebasan jalan untuk kepentingan umum. Perlawanan tokoh publik lebih membahana dari seorang patriot. Pada hal, undang-undang menyebut, bahwa tanah adalah memiliki fungsi sosial, dan kepentingan pribadi harus mengalah kepada kepentingan umum.


Sebaliknya ada juga tokoh publik, yang secara protokoler berdasarkan asas utilitas dan keamanan, memang harus memiliki privilege, tetapi tidak menggunakannya. Inipun akan menindas ruang publik. Pengawalan in cognito, dan peliputan pers kegiatan sang tokoh juga mengganggu kenyamanan orang lain di sekitarnya.


Dalam hal ada kecelakaan, tokoh publik akan mendapatkan porsi liputan media yang memberi simpati padanya, sementara sang korban terlantar hanya tinggal menjadi catatan statistik.


Harta kekayaan dan gaya hidup tokoh publik yang memiliki akses, atau yang bahkan menjadi bagian dari episentrum kekuasaan itu sendiri, terpertontonkan dengan kebanggaan ketelanjangan di ruang publik. Media menyediakan panggungnya tanpa rasa bersalah. Demi kenaikan oplah, tiras, atau alasan hipokrisi berbalut kebajikan – karena publik berhak mendapatkan informasi. Amboi. Lembaga perkawinan yang adalah fondasi sakral telah tertransformasi menjadi hanya sekedar infotainment, dan kawin cerai, atau kawin-kawinan telah menjadi gaya hidup pertanda kesuksesan.


Undang-undang 32 tahun 2002 menyatakan bahwa spektrum frekuensi radio adalah sumber daya alam terbatas yang harus dilindungi oleh Negara, sistem penyiaran nasional juga harus menjamin tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang guna mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab. Lembaga penyiaran juga harus bertanggung jawab sebagai media informasi, hiburan, kontrol dan perekat sosial. Tetapi apa yang terjadi ?


Penguasaan frekuensi, media elektronik, media cetak dan sebagainya telah menjurus ke monopoli dan oligopoli. Di Negara demokrasi maju saja ada pelarangan dan pembatasan terhadap sole ownership atau cross ownership media massa. Kenapa? Karena udara – dimana gelombang berseliweran - adalah milik publik. Media telah menjelma menjadi tiran agenda setter yang dapat membunuh atau memperbudak sampeyan , pemonopoli kebenaran, atau kebohongan. Zonasi liputan, pembatasan waktu dan content pun hampir tidak ada. Calon yang mau kampanye PILKADA di pedalaman Kalimantan misalnya, harus beriklan lewat media Jakarta. Orangtua dengan bangga mengeksploitasi anak kecilnya. Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak cukup ampuh untuk melindungi the silent victim majority.


Ketika complaint diajukan kepada tokoh publik pemilik media, akan iklan promosi dirinya yang berulang-ulang menghunjam ruang kesadaran publik, beliau dengan santai hanya mengatakan lebih kurang begini : Frekuensi yang kami beli itu adalah ibarat mal atau supermarket, terserah mau diisi apa. Tokh kami membayar pajak dan sebagainya. Dua kekeliruan dan sesat tamsil terjadi di sini. Yang pertama, adalah bahwa di mal atau supermarket pun tidak ada kebebasan mutlak. Ada barang-barang atau display yang tidak boleh dijual. Yang kedua, Undang-undang memberikan batasan normatif akan substansi suatu pesan penyiaran.


Aktor-aktor di ruang publik berseliweran, mulai dari figuran, pemain utama hingga sutradara. Ada yang berurusan dengan hukum, membantah berapi-api sambil mengucap ayat ayat kesalehan. Ada yang memelas welas asih di balik peri laku bengis. Ada yang sudah tercela dan berbuat amoral malah jadi idola baru.


Duh Gusti Jagat Betara Dewa, apakah Paduka harus turun dari Kahyangan membersihkan mayapada yang penuh intrik di jaman Kala bendu ini ? Atau mau ikut Pemilu sekalian ?



Jakarta, Desember 2013



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/02/erosi-etika-keteladanan-di-ruang-publik-615070.html

Erosi Etika Keteladanan di Ruang Publik | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar