Penolakan banyak kalangan atas penyelenggaraan miss word 2013 di Bali dan Jakarta tidak membuahkan hasil. Pihak penyelenggara yang di dukung total oleh salah satu stasiun televisi swasta. Perhelatan kontes kecantikan perempuan sedunia itu selalu dikaitkan dengan maksud memperkenalkan budaya Indonesia ke mancanegara.
Dengan memoles tidak akan ada peragaan busana bikini, seakan-akan acara jor-joran itu menjadi sah-sah saja, bahkan ada yang memandangnya sebagai kreativitas budaya khas Indonesia. Ketika pembukaan, sebagian masyarakat disuguhkan dengan penampilan para kontestan yang memakai busana tradisional setiap daerah Indonesia. Maka kian mantaplah orang Indonesia yang mendukung dan senang dengan Miss Word yang serba megah itu. Kata mereka, ternyata Indonesia itu kaya dengan budaya lokal dan pantas diperkenalkan ke dunia Internasional.
Yang menjadi pertanyaan, sebenarnya apa yang dijual oleh acara Miss World itu..? Benarkah budaya Indonesia yang dijual atau justru sebaliknya indonesialah yang dibeli oleh para pemilik modal yang kapitalistik? Kesan yang muncul memang menguntungkan, budaya kita menjadi terkenal di fora dunia. Namun sesungguhnya budaya yang diperkenalkan itu hanyalah serpihan, yang tidak kalah memprihatinkan, bahkan kepentingan bisnislah yang sebenarnya dominan.
Belum dihitung soal kontes yang mempertontonkan kemolekan kaum Hawa. Memang ada uji dan kontes kemampuan, tetapi semuanya hanya pendukung dan bukan utama. Karena yang ditonjolkan tetap paras kecantikan. Lebih dari itu, kaum perempuan lewat kontes-kontes seperti itu hanyalah menjadi barang komoditi, yang diperjual-belikan ke ruang publik dan yang mengeruk keuntungan tentulah penyelenggara dan pemilik modal yang berada dibalik perhelatan tersebut.
Jadi, sesungguhnya apa keuntungan Indonesia dari segi kebudayaan? Sungguh nihil. Indonesia tidak serta merta dikenal dan menjadi popular di mancanegara. Kalaupun menjadi dikenal sifatnya sesaat dan yang hilang justru besar, yaitu martabat bangsa dan kebersamaan kita sebagai bangsa. Mereka yang menolak sungguh didasarkan pada pertimbangan moral dan martabat budaya bangsa, bukan kepentingan. Ketika suara moral itu diabaikan, maka kebersamaan sebagai bangsa itu sesungguhnya terkoyak.
Pemandangan paling menyedihkan ditunjukkan oleh penyelenggara. Penyelenggara terkesan mengadu domba sesama komponen bangsa. Mereka berusaha sekuat tenaga mencari dukungan dari tokoh dan organisasi keagamaan dan kemsyarakatan untuk berhadapan dengan tokoh dan organisasi yang menentang acara Miss World itu. Maka terjadilah adu otot dan saling serang antara yang pro dan kontra, yang menyiratkan keberhasilan penyelenggara dalam melakukan politik demi kepentingan bisnisnya.
Tokoh dan kelompok yang mendukung juga tidak cerdas dan arif. Mereka hanya melihat dari sisi modifikasi acara dan ikhtiar memperkenalkan budaya Indonesia ke luar negeri. Mereka tidak menyelami dari sudut martabat moral dan budaya bangsa secara substantive, sekaligus melihat kepentingan bisnis kapitalis di balik penyelenggaraan Miss World tersebut. Mereka juga mengabaikan komoditisasi perempuan melalui kontes-kontes seperti itu.
Hal lain yang memprihatinkan, mereka yang mendukung penyelenggaraan Miss World itu juga mengemukakan alasan pragmatis. Bahwa di negeri itu acara-acara seperti itu pernah dilakukan. Bahwa tidak sedikit orang berbikini atau berpakaian tidak menutup aurat terjadi di ruang public di negeri ini. Pertanyaannya, apakah dengan hal-hal yang tidak pantas seperti itu kita akan semakin membenarkan acara-acara yang kian merendahkan martabat dan moral bangsa?
Segenap komponen bangsa semestinya dituntut makin memperkaya wawasan dan kepentingan membangun kebudayaan bangsa Indonesia bangsa Indonesia secara lebih otentik, substantive, dan kokoh. Bukan budaya luaran yang serba instan dan merendahkan martabat serta moral bangsa yang difondasi nilai-nilai agama yang tumbuh mekar di negeri ini. Jika suara moral dan agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilahi dan perdaban utama diabaikan, lantas mau bersandar pada apa bangsa yang berfalsafah pancasila itu?*

0 komentar:
Posting Komentar