promosi bisnis online gratis

Tulisan di Kompasiana dan Kasus Calon Hakim Agung Daming


Membaca sebuah tulisan hari ini, tentang kasus pelaporan seorang mahasiswa sebuah universitas ternama. Ini pelaporan “pelecehan seksual” yang berakibat hamilnya si mahasiswa (pihak pelapor), saya teringat hebohnya kasus Calon Hakim Agung Daming Sanusi yang “Terpeleset Lidah”. Mengutip berita di Tempo, 15 Januari 2013:


“Sebagai lembaga, MA menilai hal itu merupakan sebuah kekhilafan,” kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, saat ditemui di kantornya, Selasa, 15 Januari 2013.”


http://www.tempo.co/read/news/2013/01/15/063454534/Mahkamah-Agung-Maklumi-Kekeliruan-Hakim-Daming


Saya heran dan sedikit kaget, ternyata di Kompasiana ada ulasan tentang hal ini. Bentuknya satire memang, namun saya agak kurang paham kenapa banyak yang menjadikannya seakan bahan bercanda ya? Tulisan ini mendapatkan vote yang diantaranya berasal dari para perempuan.


Maaf, bagaimana pun dalam konteks kasus yang ditulis di artikel itu, ada pihak pelapor (yang tentu memposisikan diri sebagai “korban”), dan seperti kebanyakan kasus di Indonesia, kebetulan adalah kaum perempuan.


Saya sadari bahwa banyak kasus pelecehan juga dilakukan oleh perempuan sendiri, misalnya dalam hal perselingkuhan, yang merusak institusi perkawinan resmi sebuah rumah tangga. Ujung-ujungnya, bisa iya (bisa tidak), orang-orang yang terlibat adalah perempuan.


Perempuan yang membuat atau menjadi bagian dari goyahnya keutuhan hubungan perempuan lain dengan suami sah-nya. Saya tidak perlu menyebutkan contohnya di sini. Sebagian besar dari kita rasanya dengan cepat mengingat kasus mana yang cocok seperti yang saya maksudkan, dan itu melanda masyarakat di semua tingkatan sosial dan ekonomi.


Tanpa berpanjang kata, saya hanya ingin mengekspresikan keprihatinan tentang fenomena yang saya tangkap dari tulisan di Kompasiana, yang mengangkat kasus hubungan pria-wanita yang kebetulan menyeret sebuah nama seorang tokoh yang cukup dikenal di kalangan budayawan ini.


Apakah sepantasnya orang tertawa di atas kemalangan orang lain, kecuali orang yang ditertawakan tersebut memang pantas mendapat olok-olok karena kebebalannya. Pemikiran saya, ada tiga hal yang sepintas terkesan kurang beres di tulisan itu:


1) Pelecehan perempuan (yg anehnya mendapat “dukungan” vote dan kemeriahan sambutan tertawa ria oleh sebagian perempuan yg kasih vote di tulisan itu;


2) Tindakan mengolok-olok yang menurut saya kurang tepat dalam hal kasus tersebut, mengindikasikan keberpihakan kepada yang “kuat, populer, atau sosok favorit”; dan


3) Kurangnya kesadaran moral, etika, dan rasa empati sebagian dari kita yang padahal semestinya termasuk kalangan kelompok masyarakat dewasa dan kaum intelektual.


Sebagai bahan pertimbangan dan rujukan saya, berikut sebuah surat terbuka dari anak Sang Tokoh yang terkena kasus pelaporan ke Polda itu.


http://m.beritajatim.com/hukum_kriminal/191343/anak_sitok_srengenge_tanggapi_kasus_bapaknya.html#.UpxBCdKw2So


Mengutip Surat terbuka anak Sitok Srengenge Tanggapi Kasus Bapaknya, “Dan, jika berkenan, mohon untuk tidak menggunakan kata-kata kasar untuk menanggapi masalah ini. Tidak untuk membela siapa pun, tapi setidaknya untuk menjaga perasaan kedua keluarga.”


Saya tidak memihak siapa pun. Hanya saja kebetulan saya menemukan tulisan ini, yang mungkin akan menambah referensi bagi siapa pun yang membaca berita tentang topik yang sama, namun dari versi yang menyuarakan hal sebailknya.


Kronologi Perkosaan Sitok Srengenge Versi BEM FIB UI - http://m.beritajatim.com/hukum_kriminal/191286/kronologi_perkosaan_sitok_srengenge_versi_bem_fib_ui.html#.Upw-i9Kw2So


“Ini juga merupakan gerakan untuk menghindari perilaku kekerasan terhadap kaum perempuan yang masih sering terjadi di negeri ini. Ini adalah gerakan untuk melawan tindakan yang berlawanan dengan intektualitas kita. “


Pada akhirnya, kita akui bahwa hakim, penulis, kolumnis, dokter, dosen atau siapa pun terutama yang merasa diri sebagai kaum intelek (yang lebih unggul cara berpikir dan bernalarnya daripada masyarakat awam), seyogyanya perlu menjaga sikap, perilaku, perbuatan, dan tutur kata secara bijak.


Itu gunanya ada ketentuan dalam perangkat yang disebut kode etik, kalau pun tidak ada dalam komunitas tertentu, norma dan nilai masyarakat-lah yang berlaku. Kita sadar bahwa siapa pun, manusia mana pun setiap saat bisa melakukan kekhilafan. Namun adalah bijaksana kalau ada yang kebetulan menengarai kekhilafan ini , maka kemudian memberi peringatan yang membangun sikap berempati dan menghargai sesama manusia lain.


Mohon maaf apabila ada pihak yang mungkin merasa kurang berkenan dengan tulisan saya ini. Saya sekadar menuangkan jalan pikiran pribadi yang sederhana dan awam.


Harapan saya, kita akan selalu menyadari bahwa menulis, atau melakukan tindakan itu lebih bermakna bila memberikan manfaat dan makna bagi kehidupan sejati kepada orang lain.


Salam Kompasiana


@IndriaSalim



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/02/tulisan-di-kompasiana-dan-kasus-calon-hakim-agung-daming-613162.html

Tulisan di Kompasiana dan Kasus Calon Hakim Agung Daming | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar