promosi bisnis online gratis

Menyoal “Kawin Politik” Ulama dan Umara



Aura pemilu 2014 mulai memasuki institusi keagamaan kita. Masjid, Majelis Taklim, Pesantren hingga tokoh-tokoh agama, kini sudah mulai ramai dikunjungi para tokoh politik dan mengibarkan bendera kebesaran masing-maisng kekuatan. Seakan hendak memastikan bahwa ini adalah area saya, yang lain silahkan minggir dan jangan menganggu!


Suasana ini saya jumpai saat jalan-jalan mengunjungi pengajian di sebuah pelosok kabupaten di ujung Jawa Barat. Ada mobilisasi Majelis Taklim yang sangat massif oleh sebuah partai politik. Berpenampilan layaknya sosok yang sangat peduli dengan agama, mereka pun mengambil alih pucuk pimpinan organsiasi kemasyarakatan Islam oleh isteri sang ketua. Dan di hadapan para jamaah majelis taklim, ibu ketua “dadakan” ini berbicara gamblang janji-janjinya untuk memajukan Majelis Taklim seraya mengajak berada di barisannya. Lalu, tepuk tangan pun bergemuruh. Entah apa yang membuat suana begitu bergemuruh seperti menampakkan harapan besar atas sosok yang kini tengah bercuap-cuap di atas podium.


Saya melihatnya sebagai pembodohan struktural. Lihatlah, bagaimana simbol-simbol agama diambil alih atas nama kekuasaan, bukan lagi berorientasi pada pengkaderan, pembinaan dan pelayanan. Umat terus dibodohi dengan cuap-cuap, dininabobokan dnegan janji-janji manis. Sementara hakikat dakwah berupa perubahan multi aspek, tak pernah tersentuh sedikit pun. Lihatlah, tidak ada isu-isu tentang pengembangan pendidikan, kualitas kesehatan, hingga kesejahteraan para guru ngaji tradisional di kampung-kampung. Sebaliknya, sosok-sosok politik itu seakan mengambil alih kharisma para kyai dan ustadz di kampung-kampung yang tak pernah lelah memberikan pendidikan bagi umat dan tak pernah meminta balas jasa.


Saya semakin miris saat melihat tokoh-tokoh agama begitu bersemangat menggerakkan jamaahnya untuk hadir dalam “pengajian politik” sang ketua dadakan. Saya justru mencium traksaksi murahan: jabatan, kesejahteraan hingga fasilitas. Sementara good dan clean governance sama sekali tidak tersentuh. Tidak ada bergaining moral sebagai landasan kokohnya pemerintahan berdasar prinsip-prinsip keadilan dan keterbukaan. Inilah pendidikan politik terburuk yang saya lihat dengan kepala sendiri.


Di sinilah kiranya kita perlu membuka diri sekaligus melakukan introspeksi total, bahwa relasi ulama dan umara (pemerintah), khususnya dalam pembentukan pemerintahan yang bersih dari korupsi, belumlah berjalan dalam kerangka kerjasama yang konstruktif. Banyaknya event-event politik dan disertai sistem demokrasi yang masih dalam tahap pencarian identitas, telah menempatkan “sebagian” ulama dalam kegamangan pilihan, sehingga pilihan-pilihan politiknya cenderung transaksional dan tidak menempatkan standar yang jelas dan tegas. Inilah yang disebut dengan perkawinan politik ulama dan umara, yaitu bertemunya dua kepentingan politik jangka pendek individual dan tidak mencerminkan pokok-pokok kemasalahatan umum.



Hubungan Ulama dan Umara


Dalam Islam, hubungan ulama dan umara adalah bersifat konstruktif, bukan afirmatif dan legitimatif. Ulama bukan stempel pemerintah yang hanya digunakan saat pemilu atau moment-moment politik lainnya. Ulama sebagai otoritas pembimbing keagamaan pada hakikatnya memiliki tugas yang sama dengan umara, yaitu melayani dan melindungi umat. Yang membedakan adalah wilayah kerjanya saja. Jika ulama melayani bidang keagamaan, maka umara memberikan perlindungan politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya. Di sinilah relasi konstruktif antara keduanya menemukan titik temu, yaitu sama-sama bekerja sama dalam bidnagnya maisng-masing untuk memberikan pelayanan, perlindungan dan bimbingan kepada umat dengan berpegang pada prinsip wataâshau bil haqq watawâshau bi al-shabr, yaitu saling melengkapi dalam kabaikan, meluruskan jika melakukan kesalahan, dan tentunya saling mengingatkan dalam hal ketakwaan dan moralitas Islam.


Hubungan ulama dan umara yang bersifat afirmatif dan legitimatif akan melahirkan pola kepemimpinan otoriter, destruktif dan sangat potensial memunculkan berbagai pelanggaran hukum dan konstitusi. Dalam komunitas masyarakat bawah, keberadaan ulama di sisi umara merupakan perlambang bahwa sang pemimpin adalah sosok yang kapabel memegang kendali pemerintahan, saleh secara sosial dan ideal menurut agama. Tak mengherankan jika banyak pemimpin yang berlomba mendapatkan legitimasi dari tokoh-tokoh agama berpengaruh guna mendapatkan atau melanggengkan kekuasaannya.


Kondisi ini tentu sangat tidak ideal. Ulama yang telah masuk dalam lingkaran umara tanpa memiliki paradigma relasi konstruktif, akan terjebak pada tipu muslihat yang berorientasi pada pelanggengan kekuasaan. Maka, ulama hanya akan dijadikan legitimasi kekuasaan dengan diberikan fasilitas-fasilitas formalistik keagamaan yang sseungguhnya sangat jauh dari substansi pelayanan keagamaan. Maka, di sini kita melihat impotensi struktural yang berakibat pada melemahnya fungsi kontrol ulama terhadap umara.


Tumbuh suburnya berbagai kasus korupsi dengan melibatkan para pemimpin daerah dapat kita jadikan cermin betapa hubungan antar keduanya masih sangat formalistik dan lemah. Walau para pemimpin telah berpenampilan layaknya seorang agamawan sejati dan dikuatkan dengan kedekatannya dengan tokoh-tokoh agama atau dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seremonial keagamaan, sesungguhnya tidak menjadi jaminan bahwa hubungan konstruktif tersebut telah dibangun antara keduanya.


Di sinilah letak strategisnya ulama sebagai kontrol sosial terhadap pemerintahan. Di tengah merosotnya peran partai politik dalam melakukan kontrol politik dan sosial, ulama harus mengambil peran yang lebih luas dan tegas dalam mengawal pemerintahan dengan berpegang teguh pada moralitas Islam dan perundang-undangan yang berlaku. Ulama harus berada di garis terdepan membangun civil society untuk mengawal jalannya roda pemerintahan yang profesional, akuntabel dan bebas dari perilaku koruptif.



Dari Isu Agama menuju Isu Sosial Kemasyarakatan


Satu diantara penguatan peran kontrol ulama terhadap umara adalah keterlibatan yang lebih luas dalam isu-isu sosial kemasyarakatan seperti pendidikan, kesehatan, pemberdatyaan masyarakat, di samping isu-isu moralitas keagamaan yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Mengapa? Dengan melibatkan diri lebih terhadap isu-isu ini maka secara tidak langsung ulama telah terlibat aktif dalam pelaksanaan sekaligus pengawasan kinerja umara.


Saya sangat optimis dengan otoritas yang dimilikinya, ulama sangat strategis dalam pembangunan civil society. Di belakang ulama berderet umat yang akan setia mengikutinya. Begitu pula, otoritas agama telah digenggamnya. Ini adalah modal besar bagi ulama dalam membangun relasi konstruktif dengan umara. Ulama harus tegas menyuarakan ketidakadilan, ketimpangan sosial hingga carut marut pelayanan publik. Ulama sudah saatnya tidak hanya berkutat pada masalah pengajian, perayaan seremonial dan sejenisnya yang terbukti telah dijadikan ajang panggung perpolitikan oleh kekuatan politik tertentu dan sangat jauh dari substansi pembinaan dan keberpihakan pada nilai-nilai keagamaan.


Dengan kondisi melemahnya integritas kalangan politikus dan birokrasi, ulama harus menghindari politik transaksional. Sebaliknya, ulama harus mendorong terciptanya komitmen kebangsaan, moralitas dan keberpihakan terhadap masyarakat.


Kritik konstruktif menjadi bagian penting dari strategi penguatan hubungan ulama dan umara ini. Kritik tidak selalu berkonotasi sebagai kebencian atau ketidaksukaan. Kritik adalah sarana satu kontrol dan evaluasi kinerja yang out put­-nya adalah peningkatan kualitas dan kuantitas kinerja. Kritik konstruktif selain bermanfaat bagi umara, juga dapat menghidarkan munculnya berbagai perilaku koruptif.


Sebagai masyarakat biasa, saya dan tentu umat sangat merindukan peran ulama yang lebih luas dalam konteks berbangsa dan bernegara. Sebagai pewaris dan penerus risalah kenabian, saya sangat berharap ulama menjadi pusat dari seluruh kontrol sosial, termasuk dalam membangun relasi yang sejajar dan konstruktif dengan umara (pemerintah). Maka, kritik yang saya sampaikan sesungguhnya adalah bentuk kecintaan dan kerinduan akan peran ulama yang benar-benar mampu menciptakan harmoni dalam keberagaman, stabilitator moralitas, serta melakukan kontrol sosial secara tegas terhadap kinerja umara. Wallahu a’lam bishowab.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/03/menyoal-kawin-politik-ulama-dan-umara--616132.html

Menyoal “Kawin Politik” Ulama dan Umara | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar