Kekuasaan Pak Harto identik dengan sentralistik, kediktatoran. Menjelang kejatuhannya berseliweran pandangan dari para pengamat tentang perlunya otonomi daerah dan demokrasi. Ketika itu, saya sebagai seorang siswa SMA yang pemikirannya tidak jauh berbeda dengan masyarakat kebanyakan, mengidentikkan kedua jargon tersebut, demokrasi dan otonomi, dengan kesejahteraan.
Lalu Pak Harto dilengserkan. Para pendukung “demokrasi sejati” dan otonomi unjuk gigi. UUD 45 diamandemen. UU Otonomi dibentuk. Jadilah Indonesia seperti konsep yang dianggap ideal.Lalu apa yang terjadi?
Ternyata demokrasi disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Orang bebas berdemo tanpa lagi perduli kepentingan umum, bahkan, untuk pertama kalinya dalam sejarah republik Indonesia, dokter melakukan demo. Kelompok radikal tertentu dapat memaksakan kehendaknya atas dasar kebebasan berpendapat dan bersikap. Media bebas memberitakan apa saja, sebagai wujud kebebasan pers, termasuk menyalakan pemetik api dari sebuah masalah kecil agar menjadi kebakaran.
Lalu bagaimana dengan otonomi. Tidak jauh berbeda nasibnya. Bukan kesejahteraan yang lebih baik timbi;, melainkan terbentuknya raja-raja baru di daerah. Terpicunya konflik horizontal akibat perebutan kursi kepemimpinan lokal. Korupsi juga merajalela di tingkat daerah.
Kepemimpinan Pak Harto identik dengan kediktatoran dan dinilai negatif. Lalu bagaimana dengan kepemimpinan saat ini, yang selalu berlindung di balik ketentuan dan aturan yang berlaku? Caruk maruk. Koordinasi kacau balau. Kadang presiden lebih sering menyampaikan statement yang kadang tidak terimplementasikan. Menjadi semacam ucapan kosong.
Saya menyampaikan ini bukan hendak mengatakan jika diktator, sentralistik itu lebih baik. Bukan sama sekali. Tapi saya hanya mengatakan bahwa tidak ada sistem yang lebih baik kecuali yang mampu mensejahterakan masyarakat.
Orang desa, penduduk kelas menengah kebawah dan kebanyakan rakyat Indonesia hanya mengerti jika negara harusnya menjamin harga barang-barang pokok murah, pendidikan bisa diakses dengan mudah, kondisi aman, orang bisa berusaha dengan nyuman. Just that!. Mereka tidak mempersoalkan hal-hal yang bersifat ideologis.
Hal itulah yang tidak dilihat masyarakat pada pemerintahaan pasca pak Harto, khususnya 5 tahun belakangan ini. Harga pangan melambung. Demo buruh terjadi dimana, menuntut upah, yang sebenarnya berpangkal pada mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Aparat tidak punya gigi ketika menghadapi tindakan anarkisme oleh kelompok tertentu. Tidak ada lagi kepastian hukum. Korupsi merajalela. Hal politis merasuki berbagai aspek, termasuk ke wilayah pemerintahan.
Sehingga wajar jika masyarakat kemudian menghidupkan kenangan masa lalunya yang memabukkan. Hal yang sangat psikologis, karena pengalaman tersebut bersifat otentik, meskipun seorang Fadjroel Rachma pada suatu acara talkshow di televisi, mengingatkan bahwa banyak hal yang tidak diketahui masyarakat terkait dengan tindakan HAM dan korupsi yang dilakukan oleh rezim Pak Harto.
Benar sekali. Tapi masyarakat juga tidak bisa membohongi kesadarannya jika zaman dulu jauh lebih enak. Sehingga nostalgisasi lebih merupakan perkembangan yang wajar dalam diri setiap orang saat harapannya tidak tercapai atau kondisi saat ini tidak lebih baik. Dalam pandangan psikoanalisa, kebutuhan yang tidak terpenuhi disubsitusi pemenuhan pada objek lain yang dalam hal ini adalah imajinasi.
Sedangkan saat ini, meskipun tidak ada kebohongan, dan segalanya transparan, lebih baik dari zaman Pak Harto, namun kondisi ekonomi tidak lebih baik.
Jadi saya memiliki keyakinan, orang akan semakin rindu Pak harto ketika pemimpin saat ini tidak sebaik Pak Harto., atau ketika segala jargon yang pernah ditawarkan tidak memberikan dampak yang lebih baik. Oleh sebab itu, bagi siapapun kelak menjadi pemimpin Indonesia, tantangan cukup berat. Karena pemimpin terdahulu telah mengoreskan kesan mendalam yang tidak lagi mudah digoyang oleh opini para pakar gombal, jargon-jargon. Harapan masyarakat semakin realistis. Bukan lagi pada demokrasi, kebebasan, liberisasi, dsb tapi pada kesejahteraan.
Faktanya, sistem, jargon tidak menjadi lebih baik ketika presiden Indonesia kelak yang menjadi sentral, bukan seorang pemimpin dan negarawan. Maka pemimpin yang hebat, dan lebih hebat dari pak Harto adalah keharusan, untuk membebaskan masyarakat dari impan masa lalu dan mulai bermimpi menatap masa depan.

0 komentar:
Posting Komentar